Laporan Tahunan 2023: Hak Asasi Manusia dan Konflik di Tanah Papua

Ringkasan Eksekutif

Tanah Papua pada tahun 2023 menghadapi situasi hak asasi manusia yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun dan belum terselesaikan semakin meningkat sejak Desember 2018, yang menyebabkan lonjakan pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan oleh aparat keamanan, terutama di dataran tinggi. Kebebasan berekspresi tetap dibatasi, dengan pihak berwenang terus membubarkan protes damai.

Fokus pemerintah pada proyek-proyek infrastruktur dan ekstraksi sumber daya alam terus berlanjut, dengan manfaat yang minimal bagi masyarakat adat Papua. Dana otonomi khusus tidak memberikan dampak positif pada layanan kesehatan dan pendidikan, terutama di daerah konflik, di mana banyak fasilitas kesehatan dan pendidikan hancur. Personel militer, yang semakin banyak dikerahkan ke Tanah Papua, terkadang ditugaskan untuk mengisi kekurangan dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan. Perkembangan ini diakibatkan karena banyak tanagga di bidang kesehatan dan pendidikan menungsi dari tempat tugas karena konflik bersenjata terus berlanjut.

Lebih dari 76.000 orang Papua masih menjadi pengungsi internal pada tahun 2023 karena bentrokan bersenjata atau penggerebekan aparat keamanan yang menghancurkan rumah dan ternak mereka. Ketakutan untuk kembali ke rumah karena kehadiran militer yang besar membuat mereka tetap berada di tempat pengungsian, yang sering kali tidak memiliki layanan dasar.

Hak Sipil dan Politik

Impunitas

Impunitas masih menjadi hambatan utama untuk menghentikan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Meskipun ada beberapa kasus di mana anggota polisi atau militer menghadapi hukuman, hal ini jarang terjadi dibandingkan dengan banyaknya insiden penyiksaan, pembunuhan, dan penghilangan paksa yang dilaporakan. Pelaku dari insitusi polisi atau tentara jarang diadili di pengadilan umum dalam persidangan yang publik. Investigasi polisi kurang transparan, dan baik pengadilan militer maupun prosedur kepolisian melalui PROPAM tidak menawarkan kompensasi yang layak bagi para korban. Terlepas dari beberapa contoh positif, sebagian besar pelaku menerima hukuman yang tidak proporsional dengan tingkat keparahan kejahatannya.

Misalnya, pada September 2023, dua orang tentara yang mengaku membunuh warga Papua di Kabupaten Mimika dibebaskan oleh pengadilan militer. Pengadilan menyatakan bahwa kedua tentara tersebut bertindak sebagai “pembelaan diri”, yang menyoroti masalah serius dalam hal akuntibilitas di Tanah Papua.

Pembunuhan dan Penyiksaan

Pembunuhan di luar proses hukum telah melonjak sejak 2019, dengan jumlah kasus dan korban mencapai puncaknya sebanyak 37 orang pada 2023 (lihat Tabel 1). Hal ini terkait dengan meningkatnya konflik dan penggerebekan oleh aparat keamanan yang menargetkan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Penghilangan paksa selama penggerebekan ini menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut. Selain itu, para pembela hak asasi manusia melaporkan adanya peningkatan kasus kerusuhan sipil pada tahun 2023, di mana aparat keamanan membunuh banyak orang dalam satu insiden. Yang mengkhawatirkan, sebagian besar kerusuhan ini juga melibatkan “kekerasan horizontal” – bentrokan antara penduduk asli Papua dan non-Papua. Hal ini menyoroti potensi konflik etnis yang terus meningkat yang dipicu oleh ketegangan sosial dan diskriminasi rasial terhadap masyarakat asli Papua. Sebuah contoh kasus dari pola ini terjadi di Kampung Sinakma, Kota Wamena, pada bulan Februari 2023. Dalam insiden ini, sebelas orang tewas – dua pendatang dan sembilan warga asli Papua – baik secara langsung akibat tindakan aparat keamanan maupun dalam bentrokan etnis. Empat puluh tujuh warga asli Papua juga terluka akibat tembakan. Potensi genosida telah disoroti oleh laporan dari Simon-Skjodt Center for the Prevention of Genocide pada tahun 2022.

Selain itu, pada bulan Juli 2023, Penasihat Khusus PBB untuk Pencegahan Genosida, dalam pidato pembukaannya pada Pertemuan ke-22 Sesi Reguler ke-53 Dewan Hak Asasi Manusia menyatakan keprihatinannya tentang situasi hak asasi manusia di provinsi-provinsi Papua. Beliau mendorong tindakan awal di tingkat komunitas, nasional, regional, dan internasional terhadap tanda-tanda peringatan dan mengatakan bahwa “pencegahan genosida dan kejahatan terkait terkait erat dengan memastikan akuntabilitas. Kegagalan untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku dan membiarkan impunitas terus berlangsung akan meningkatkan risiko genosida di masa depan.”

Serupa dengan pembunuhan di luar hukum, meluasnya penggunaan penyiksaan dan perlakuan buruk oleh aparat keamanan, terutama polisi, terkait erat dengan masalah impunitas. Para pelaku jarang diadili di pengadilan sipil. Program pelatihan hak asasi manusia untuk polisi dan militer tampaknya tidak efektif selama para pelaku hanya menerima hukuman yang ringan atau sanksi disiplin internal secara tertutup. Statistik keseluruhan mengenai kasus-kasus penyiksaan dan korban tidak menunjukkan adanya penurunan selama satu dekade terakhir, dengan jumlah kasus tahunan yang tetap konstan dengan sedikit fluktuasi. Kenyataan suram ini menunjukkan bahwa penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih menjadi praktik yang meluas oleh polisi dan militer di Tanah Papua.

Kebebasan Berekspresi

Beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia masih sangat membatasi kebebasan berekspresi. Pasal-pasal tersebut termasuk pasal-pasal tentang penghasutan, pencemaran nama baik, menyerang reputasi seseorang, dan pengkhianatan. Pasal 106 dan 110 KUHP, yang secara khusus menargetkan makar dan konspirasi melawan negara, sering digunakan untuk membungkam suara-suara kritis berkaitan dengan situasi HAM di Tanah Papua.

Meskipun dakwaan makar telah menurun selama satu dekade terakhir, angka yang tinggi pada tahun 2019 (86) menunjukkan penggunaan pasal-pasal tersebut untuk menekan aktivitas politik. Tahun 2019 bertepatan dengan “Pemberontakan Papua,” yang dipicu oleh serangan rasis terhadap mahasiswa Papua. Sejak saat itu, pihak berwenang telah beralih ke tuduhan lain seperti kepemilikan senjata tajam (UU Darurat), penyerangan dan pencurian untuk menargetkan orang Papua yang mengekspresikan pandangan politik.

Polisi secara rutin membatasi pertemuan damai untuk orang Papua dan kelompok-kelompok solidaritas, baik di Tanah Papua maupun di tempat lain di Indonesia, terutama ketika protes-protes tersebut mengangkat isu-isu seperti penentuan nasib sendiri, pelanggaran hak asasi manusia, militerisasi, atau diskriminasi rasial. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk Papua Barat (FRI WP ) adalah kelompok-kelompok di luar provinsi-provinsi Papua yang sering menjadi sasaran.

Penindasan oleh penegak hukum dan kelompok nasionalis (Organisasi Kemasyarakatan atau ORMAS) telah meningkat selama lima tahun terakhir. Polisi berulang kali gagal melindungi para pengunjuk rasa pro-Papua dari kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini.

Meskipun statistik menunjukkan lebih sedikit pertemuan yang dibubarkan pada tahun 2023 (lihat Tabel 1), hal ini tidak mencerminkan tumbuhnya ruang untuk berekspresi. Aparat kepolisian membubarkan paksa protes damai pada Hari Hak Asasi Manusia, secara sewenang-wenang menahan orang-orang yang membagikan selebaran untuk aksi damai, dan mengintimidasi kelompok-kelompok yang mengadakan pertemuan atau upacara keagamaan di tempat milik pribadi. Setiap protes politik diawasi secara ketat. Penurunan jumlah pertemuan yang dibubarkan secara paksa mencerminkan menyusutnya ruang untuk berekspresi, dengan polisi mencegah protes damai berlangsung. Hal ini menyebabkan berkurangnya demonstrasi di ruang publik.

Penangkapan pada demonstrasi damai terkadang disertai dengan kekerasan, dan penahanan sewenang-wenang digunakan untuk mencegah orang mengekspresikan pendapat di ruang publik. Meskipun sebagian besar peserta dibebaskan tanpa dakwaan, hal ini melanggar hak untuk berkumpul secara damai. Organisasi-organisasi seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP ) terus-menerus menghadapi penindasan, kekerasan, dan penuntutan sepanjang tahun 2023.

Tabel 1: Tabel statistik pelanggaran hak-hak sipil dan politik di Papua Barat antara tahun 2019 dan 2023

Data tentang hak-hak sipil dan politik di Papua Barat20192020202120222023
Jumlah kasus penyiksaan/penganiayaan yang dilaporkan*2234N/A4639
Jumlah korban penyiksaan/penganiayaan yang dilaporkan*1268969223160 +
Jumlah kasus pembunuhan di luar hukum yang dilaporkan1616N/A1417
Jumlah korban yang dilaporkan dari pembunuhan di luar hukum3325171842
Jumlah kasus penghilangan paksa yang dilaporkan22N/A32
Jumlah korban yang dilaporkan mengalami penghilangan paksa64463
Jumlah sanksi terhadap pelaku polisi dan militer22N/A137
Jumlah penangkapan politik619384585492311
Jumlah demonstrasi/perkumpulan damai terkait isu Papua Barat yang diintervensi secara paksa oleh aparat keamanan*3837N/A2913
Jumlah orang yang dijatuhi hukuman karena makar & konspirasi kriminal (Pasal 106 dan/atau 110 KUHP)8618N/A1510
*termasuk kasus/korban pelanggaran terhadap orang asli Papua dan kelompok solidaritas non-Papua di luar Tanah Papua
(+) puluhan lainnya selain korban yang terdokumentasi dalam satu atau lebih kasus.
Sumber: Database HRM, kompilasi dari sumber-sumber Media, LSM dan HRD

Kesehatan

Masyarakat asli Papua menghadapi kesenjangan kesehatan yang mencolok dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya, terutama masyarakat adat Papua yang tinggal di daerah pedalaman, di mana ketersediaan dan aksesibilitas fasilitas medis sangat terbatas. Daerah-daerah terpencil sering kali tidak memiliki fasilitas medis yang memadai, dengan peralatan yang sudah ketinggalan zaman dan kekurangan obat-obatan. Kehadiran jumlah dokter terkonsentrasi di pusat-pusat kota, sehingga banyak daerah yang tidak terlayani. Beberapa daerah sama sekali tidak memiliki rumah sakit, sehingga memaksa penduduk untuk melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan perawatan dasar.

Konflik bersenjata yang sedang berlangsung semakin memperburuk krisis layanan kesehatan. Di dataran tinggi tengah, rumah sakit tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai meskipun fasilitasnya dapat melayani seluruh wilayah, sementara pusat-pusat kesehatan sering kali ditinggalkan atau dihancurkan oleh kedua pihak konflik.

Upaya pemerintah selama beberapa tahun terakhir belum secara signifikan meningkatkan akses, terutama di daerah pedesaan di mana sebagian besar orang Papua tinggal. Meskipun statistik menunjukkan peningkatan jumlah rumah sakit, banyak kabupaten masih kekurangan fasilitas dasar. Pada tahun 2021, 20 rumah sakit tersedia di Provinsi Papua Barat, dan 52 rumah sakit di Provinsi Papua. Enam kabupaten di kedua provinsi tersebut masih belum memiliki rumah sakit umum.

Tabel 2: Tabel gabungan fasilitas kesehatan untuk provinsi Papua dan Papua Barat berdasarkan data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi BPS Papua dan BPS Papua Barat antara tahun 2014 dan 2023

Provinsi Papua20142018201920202021
Rumah Sakit4341464552
Rumah Sakit Bersalin101212
Poliklinik1541151099583
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)386422439450447
Puskesmas Pembantu9831.1461.0881.1461.041
Provinsi Papua Barat
Rumah Sakit1416161920
Rumah Sakit Bersalin20000
Poliklinik3029283225
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)144177182196179
Puskesmas Pembantu434495427419402
Tanah Papua
Rumah Sakit5757626472
Rumah Sakit Bersalin121212
Poliklinik184144137127108
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)530599621646626
Puskesmas Pembantu1.4171.6411.7091.7921.667

Rendahnya jumlah rumah sakit yang hanya berada di perkotaan menyiratkan bahwa sistem layanan kesehatan di Tanah Papua sangat bergantung pada institusi medis lainnya. Statistik terakhir yang tersedia, dari tahun 2021, menunjukkan tren negatif dalam ketersediaan poliklinik, rumah sakit bersalin, puskesmas dan puskesmas pembantu. Tren yang sangat mengkhawatirkan adalah penurunan jumlah rumah sakit bersalin, dari 12 pada tahun 2014 menjadi hanya 2 pada tahun 2021. Hal ini berdampak langsung pada hasil kesehatan ibu dan anak, karena lebih dari 23% perempuan di Tanah Papua melahirkan tanpa bantuan medis.[1] Beberapa kabupaten bahkan melaporkan angka yang lebih mengkhawatirkan, dengan lebih dari separuh perempuan tidak memiliki akses ke bantuan persalinan. Kesenjangan ini berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu dan bayi yang baru lahir.

Tabel 3: Tabel gabungan tentang penolong persalinan di Provinsi Papua dan Papua Barat berdasarkan data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Papua dan BPS Papua Barat antara tahun 2014 dan 2023

Persalinan yang ditolong oleh (dalam %): 2018201920202021
Provinsi Papua
Dokter18,8721,1722,4520,71
Bidan38,0242,5140,8746,47
Tenaga medis lainnya16,925,735,175,75
Dukun beranak23,7213,4912,5712,25
Penolong persalinan lainnya atau tidak ada2,4715,5518,9414,82
Provinsi Papua Barat
Dokter28,3133,5933,4734,24
Bidan52,7647,6747,4144,33
Tenaga medis lainnya1,5512,901,891,95
Dukun beranak10,365,5510,7213,08
Penolong persalinan lainnya atau tidak ada7,020,286,516,41
Tanah Papua
Dokter23,5927,3827,9627,48
Bidan45,3945,0944,1445,40
Tenaga medis lainnya9,249,323,533,85
Dukun beranak17,049,5211,6512,67
Penolong persalinan lainnya atau tidak ada4,757,9212,7310,62

Upaya pemerintah untuk mengatasi kesenjangan layanan kesehatan dengan mengerahkan personil militer menimbulkan kekhawatiran. Meskipun anggota TNI mendukung penyediaan layanan medis yang terbatas baik di daerah konflik maupun di daerah non-konflik di sekitarnya, kehadiran mereka menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat Papua. Banyak oarang alsi Papua masih mengingat pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu maupun situasi hak asasi manusia di masa kini yang terus memburuk. Kehadiran tentara dalam sistem kesehatan menghalangi banyak orang asli Papua untuk mengakses layanan.

Selain ketersediaan, kualitas layanan kesehatan juga menjadi perhatian utama. Statistik di atas menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan tersedia, namun sering kali tidak memiliki sumber daya yang memadai. Sebagian besar pusat kesehatan masyarakat di daerah pedesaan tidak memiliki tenaga medis spesialis, sehingga memaksa penduduk untuk melakukan perjalanan jauh bahkan untuk perawatan dasar. Statistik pemerintah tentang staf medis di Puskesmas bertentangan. Menurut data statistik, Provinsi Papua mengalami kekurangan dokter spesialis, sementara provinsi Papua Barat kekurangan dokter umum. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan kekhawatiran tentang keakuratan data ataupun penerapan strategi kesehatan negara di Tanah Papua.

Kelalaian administrasi menambah lapisan gangguan terhadap akses layanan kesehatan. Pembayaran gaji yang tertunda untuk petugas kesehatan dan kekurangan obat-obatan sering terjadi, yang menyebabkan penutupan rumah sakit dan pusat kesehatan. Rumah sakit Nduga dan pusat kesehatan Kenyam ditutup karena staf belum dibayar. Manajemen yang buruk di Rumah Sakit Waghete menyebabkan kekurangan obat-obatan. Para pembela hak asasi manusia menyatakan bahwa kekurangan tersebut dapat dihindari dengan koordinasi yang lebih baik.

Lebih dari 76.000 orang Papua yang mengungsi di dalam negeri menghadapi krisis kesehatan. Pengungsian telah berlangsung sejak konflik di Tanah Papua meningkat pada akhir tahun 2018 dan para pengungsi internal (IDPs) sejak saat itu tidak memiliki akses ke layanan kesehatan yang layak. Perempuan dan anak-anak sangat rentan. Jarak yang jauh, biaya transportasi, dan kurangnya dokumen legal menciptakan hambatan tambahan untuk mengakses perawatan medis. Anak-anak yang mengungsi sering menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi, penyakit kulit, dan masalah pernapasan, sementara wanita hamil dan lansia menghadapi tantangan yang sama. Kurangnya akses layanan kesehatan berkontribusi pada tingkat kematian yang lebih tinggi di antara para pengungsi.

Masalah ini diperparah dengan sikap pemerintah yang terus mengabaikan para pengungsi. Kurangnya status hukum yang jelas membuat para pengungsi internal tidak dapat mengakses bantuan kemanusiaan dari organisasi nasional dan internasional, membuat mereka semakin terisolasi dan rentan.

Pendidikan

Tanah Papua menghadapi krisis pendidikan yang tersembunyi. Statistik pemerintah menunjukkan peningkatan jumlah guru dan fasilitas. HRM meragukan keakuratan data statistik dari pemerintah karena adanya variasi yang aneh dalam data seperti peningkatan hampir 100% dalam jumlah murid-guru pada tahun 2023 dibandingkan dengan tahun 2022. Selain itu, masalah mendasar seperti ketidakhadiran guru yang tinggi, kualitas pendidikan yang rendah, dan infrastruktur sekolah yang rusak masih terjadi bahkan di daerah perkotaan. Angka melek huruf menunjukkan kegagalan jangka panjang. Provinsi Papua memiliki angka terendah di Indonesia yaitu 84,22% (2023), jauh di bawah rata-rata nasional (96,53%) dan provinsi tetangga, Papua Barat (97,84%). Daerah pedesaan, yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat adat, paling terpengaruh oleh kesenjangan pendidikan ini.

Konflik bersenjata di Tanah Papua berdampak buruk pada pendidikan, terutama bagi anak-anak di antara lebih dari 76.000 orang Papua yang telah mengungsi di dalam negeri.[2] Di daerah-daerah konflik seperti Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak, Nduga, Maybrat, dan Intan Jaya, sekolah-sekolah terbengkalai, dan para guru mengungsi karena takut akan kekerasan.

Dampak konflik meluas ke daerah-daerah tetangga. Kehadiran militer mengganggu pendidikan bahkan di daerah yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran. Hal ini merupakan akibat dari kebijakan pemerintah baru yang diumumkan pada November 2021 oleh Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dan petinggi militer. Kebijakan ini mendorong personel militer untuk terlibat langsung dalam urusan masyarakat, termasuk bertindak sebagai pendidik di daerah yang terkena dampak konflik.

Namun, pendekatan ini menimbulkan kekhawatiran serius. Banyak anak-anak asli Papua yang mengalami trauma mendalam akibat pelanggaran hak asasi manusia selama beberapa generasi, dan kehadiran personil militer di sekolah hanya akan menambah rasa takut pada mereka. Selain itu, sekolah-sekolah dengan kehadiran militer menjadi target potensial untuk serangan oleh TPNPB.

Situasi pendidikan seperti di wilayah Aifat Timur Raya dan Aifat Selatan di Kabupaten Maybrat, di mana setidaknya ada sepuluh sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama yang terbengkalai sangat mengkhawatirkan. Beberapa bangunan sekolah, termasuk SD YPPK Faan Kahrio, SD YPPK Michael, SD YPPK (Kampung Ayata), dan satu bangunan SMP di Distrik Aifat Timur Tengah, telah dialihfungsikan sebagai posko sementara TNI dan Brimob.

Konflik dan Pengungsian

Konflik Bersenjata

Pemerintah Indonesia, seperti tahun-tahun sebelumnya, berusaha untuk mempertahankan kontrol atas Tanah Papua yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan minim berpenduduk. Strategi ini melibatkan peningkatan kehadiran aparat keamanan, pembagian wilayah administratif, dan inisiatif pembangunan ekonomi. Namun, situasi konflik di Tanah Papua memburuk secara signifikan pada tahun 2023.

Data yang dikumpulkan oleh HRM menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dalam serangan bersenjata dari 64 serangan di tahun 2020 menjadi 107 serangan di tahun 2023. Korban sipil juga mencapai titik tertinggi yang baru yaitu 62 orang pada tahun 2023, dibandingkan dengan 27 orang pada tahun 2020. Pasukan keamanan juga mengalami peningkatan jumlah korban pada tahun 2023 (Lihat tabel 4). Angka-angka ini bisa dikatakan masih terlalu rendah. Data publik dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bahkan melaporkan total 199 serangan pada tahun 2023.

Tabel 4: Konflik bersenjata di Tanah Papua antara tahun 2018 dan 2023

Kekerasan bersenjata di Tanah Papua201820192020202120222023
Jumlah serangan bersenjata4433648572110
Jumlah korban jiwa di antara pasukan keamanan81811181957
Jumlah petugas keamanan yang terluka151210342941
Jumlah korban di antara pejuang TPNPB12141424818
Jumlah pejuang TPNPB yang terluka401817
Jumlah total korban jiwa di antara warga sipil selama bentrokan atau penyerbuan bersenjata422027284363
Jumlah warga sipil yang dibunuh oleh anggota pasukan keamanan[3]17132012523
Jumlah warga sipil yang dibunuh oleh pejuang TPNPB2577143840
Jumlah total warga sipil yang terluka15927202157
Jumlah warga sipil yang terluka oleh anggota pasukan keamanan79107223
Jumlah warga sipil yang terluka oleh pejuang TPNPB8016131934
Sumber: Dokumentasi dan Database HRM, data dikumpulkan dari sumber-sumber media, siaran pers TPNPB, dan informasi yang disampaikan oleh jaringan pembela hak asasi manusia di Tanah Papua

Konflik meluas dan meningkat di kabupaten-kabupaten baru di Provinsi Papua Barat dan dataran tinggi tengah. Pada tahun 2023, Intan Jaya dan Puncak mengalami serangan paling banyak (masing-masing 24 dan 22 serangan). Maybrat juga mengalami peningkatan kekerasan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Konflik dengan intensitas yang lebih rendah dilaporakan terjadi di Nabire, Teluk Bintuni, Puncak Jaya, dan Lanny Jaya.

Di luar peningkatan jumlah korban, laporan-laporan yang ada menunjukkan keprihatinan serius tentang taktik yang digunakan. Operasi keamanan di dataran tinggi tengah, terutama di Intan Jaya dan Puncak (yang mengalami serangan paling banyak pada tahun 2023), diduga melibatkan penghancuran rumah dan ternak secara sengaja. Strategi ini tampaknya bertujuan untuk mengganggu para pejuang gerilya yang mengandalkan desa-desa kecil untuk mendapatkan kebutuhan dasar. Namun, keberadaan para kombatan di antara warga sipil tidak membenarkan serangan tanpa pandang bulu terhadap pemukiman sipil.

Penggunaan serangan udara terhadap desa-desa kecil menimbulkan kekhawatiran yang lebih besar. Taktik-taktik ini sama sekali tidak bisa menjamin pemisahan antara warga sipil dan kombatan, yang berpotensi melanggar hukum internasional dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan beberapa contoh serangan yang mengikuti pola tersebut, termasuk penggunaan drone tempur, di Intan Jaya pada bulan April 2023, di Yahukimo pada bulan Agustus 2023, di Puncak pada bulan Agustus 2023, dan di Nduga pada bulan September 2023. Serangan-serangan ini dilaporkan melibatkan serangan drone dengan granat mortir yang menargetkan rumah-rumah warga sipil, memaksa warga untuk melarikan diri menyelamatkan diri ke hutan-hutan di sekitarnya. Pasukan keamanan juga dituduh membakar rumah-rumah hingga rata dengan tanah dan menembak tanpa pandang bulu, yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil. Selain itu, penduduk desa menjadi sasaran penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan selama interogasi. Di Intan Jaya, ada laporan yang menyebutkan adanya bebrapa korban yang dihilangkan secara paksa.

Pengungsian Internal

Sejak Desember 2018, lonjakan konflik bersenjata di seluruh Tanah Papua telah memaksa lebih dari 76.228 orang (lihat tabel 5) – terutama penduduk asli Papua – untuk meninggalkan rumah mereka. Ketakutan akan kekerasan yang terus berlanjut mencegah mereka untuk kembali, sehingga menciptakan krisis kemanusiaan yang terus berkembang.

Para pengungsi mencari perlindungan di kabupaten dan kota yang lebih aman di seluruh Tanah Papua, sering kali mereka tiba tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian di punggung mereka. Konflik memaksa mereka untuk meninggalkan harta benda mereka dan membuat mereka terputus dari layanan dasar pemerintah, termasuk pendidikan.

Kondisi kehidupan para pengungsi internal ini sangat bervariasi. Sebagian mengungsi ke rumah kerabat, sementara yang lain menyewa kamar di kota atau membangun tempat penampungan sementara di hutan. Namun, semua pengungsi mengahdapi masalah yang sama, yaitu perjuangan untuk mendapatkan kebutuhan dasar.

Pemerintah Indonesia, meskipun memiliki bukti yang terdokumentasi mengenai pengungsian akibat konflik sejak Desember 2018, terus menyangkal keberadaan lebih dari 76.000 pengungsi di Tanah Papua. Selain itu, negara tidak memiliki strategi yang komprehensif untuk memenuhi kebutuhan kritis para pengungsi, termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan.

Situasi ini sangat menantang bagi anak-anak. Banyak pengungsi yang mengungsi ke pemukiman perkotaan yang penuh sesak dan tidak memiliki fasilitas dasar seperti listrik. Para orang tua sering kali tidak memiliki kemampuan finansial untuk membeli perlengkapan sekolah, sehingga menghambat pendidikan anak-anak mereka. Masuknya anak-anak pengungsi juga membebani sumber daya di sekolah-sekolah baru mereka. Beberapa anak mengalami trauma karena melarikan diri dari rumah mereka. Hal ini manjadi tantangan tambahan bagi petugas sekolah maupun orang tua.

Tabel 5: Pengungsi internal di seluruh Tanah Papua , Indonesia, per September 2023

KabupatenNo PengungsiMengungsi sejakInformasi tambahan
Nduga56,981[1]4 Desember 18Pengungsi berasal dari 11 distrik di Nduga; lebih dari 615 pengungsi dilaporkan meninggal dunia per Januari 2022
Puncak2,724[2]27 Apr. 21setidaknya 16 pengungsi dilaporkan meninggal selama pengungsian
Intan Jaya5,859[3]26 Okt. 21sedikitnya 126 pengungsi menghadapi masalah kesehatan, dan 11 pengungsi dilaporkan meninggal dunia
Maybrat5,296[4]2 Sep. 21Pengungsi berasal dari 5 distrik, 138 pengungsi dilaporkan meninggal dunia, dan Pemerintah setempat dilaporkan telah memfasilitasi pemulangan beberapa ratus pengungsi dari sembilan desa sejak November 2022
Pegunungan Bintang (Distrik Kiwirok)2,252[5]10 Oktober 21sekitar 200 IDP mengungsi ke PNG, 74 IDP dilaporkan meninggal dunia, dan puluhan IDP menderita sakit
Pegunungan Bintang (Distrik Serambakon)91[6]18 Sep. 23sepuluh orang sakit, dua perempuan hamil, 47 anak-anak di antara para pengungsi
Yahukimo (Distrik Suru-Suru)1,971[7]20 Nov. 21Pengungsi dari 13 desa mencari perlindungan di 15 kamp sementara, 16 perempuan melahirkan tanpa bantuan medis, dan 13 pengungsi dilaporkan meninggal.
Yahukimo (Distrik Dekai)554 [8]21 Agustus 2313 orang sakit, satu orang meninggal, dua orang perempuan dibunuh
Fakfak (Distrik Kramongmongga500[9]16 Agustus 23N/A
T O T A L76,228
[1] Disusun oleh sekelompok pembela hak asasi manusia Papua yang mengunjungi para pengungsi dari Nduga di kota Wamena dan sekitarnya antara tanggal 12 dan 20 Juli 2023
[2] Jubi (9.11.2021): SORAKPATOK: 300 tewas dan 50 ribu warga Papua mengungsi, tersedia di: https://jubi.co.id/sorakpatok-300-tewas-dan-50-ribu-warga-papua-mengungsi/
[3] CNN Indonesia (30.10.2021): Ribuan Warga Papua Mengungsi Usai Pecah Kontak Senjata, tersedia di: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211030195433-12-714496/ribuan-warga-papua-mengungsi-usai-pecah-kontak-senjata
[4] Angka-angka yang dipublikasikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada bulan Juli 2023, lihat Suara Papua (30.07.2023): 5.296 Warga Kabupaten Maybrat Masih Bertahan di Tempat Pengungsian, tersedia di: https://suarapapua.com/2023/07/30/5-296-warga-kabupaten-maybrat-masih-bertahan-di-tempat-pengungsian/
[5] Disusun dari berbagai daftar nama pengungsi yang dikumpulkan oleh para pembela HAM setempat di Pegunugan Bintang antara April dan Juli 2023. Pekerja gereja memperbarui jumlah kematian pada Juli 2023
[6] Jumlah tersebut didasarkan pada daftar nama yang dikumpulkan oleh para pembela HAM di Serambakon tak lama setelah pengungsian terjadi.
[7] Jumlah tersebut berdasarkan data yang dikumpulkan oleh pekerja gereja setempat. Informasi tersebut diterima pada Februari 2022
[8] Jumlah tersebut berdasarkan daftar nama yang dikumpulkan oleh para pembela HAM di Dekai pada bulan September 2023
[9] Berdasarkan estimasi yang dibuat oleh pembela HAM lokal di Kramongmongga pada September 2023

———

Tentang Human Rights Monitor

Human Rights Monitor (HRM) adalah proyek nirlaba internasional yang independen dan mempromosikan hak asasi manusia melalui dokumentasi dan advokasi. HRM berbasis di Uni Eropa dan aktif sejak tahun 2022. Kami mencapai visi kami dengan mendokumentasikan pelanggaran; meneliti konteks institusional, sosial dan politik yang memengaruhi perlindungan hak dan perdamaian; dan berbagi kesimpulan dari pekerjaan pemantauan berbasis bukti.

Deskripsi dari setiap kasus pelanggaran hak asasi manusia yang disebutkan dan dihitung dalam laporan ini tersedia di https://humanrightsmonitor.org/cases

Kontak

Human Rights Monitor
Friedrich-Ebert-Str. 55
42103 Wuppertal
JERMAN
web: humanrightsmonitor.org
email: hrm@humanrightsmonitor.org
Konten dalam laporan ini dilisensikan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi 4.0 Lisensi Internasional.

[1] Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi BPS Papua dan BPS Papua Barat antara tahun 2014 dan 2023. Untuk beberapa kabupaten, tidak ada data yang tersedia.

[2] Pemantauan Hak Asasi Manusia (6.10.2023): Pembaruan Pengungsi, Oktober 2023: pengungsian baru-baru ini di Kabupaten Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Fakfak, tersedia di: https://humanrightsmonitor.org/news/idp-update-october-2023-recent-displacement-in-yahukimo-pegunungan-bintang-and-fakfak-regencies/

[3] Angka ini terdiri dari warga sipil yang terbunuh selama bentrokan bersenjata dan penggerebekan aparat keamanan, serta warga sipil yang dibunuh oleh anggota TPNPB dalam serangan yang ditargetkan.