Pengamatan Akhir CESCR PBB tentang Indonesia pada Maret 2024 E/C.12/IDN/CO/2

Kesimpulan atas pengamatan terhadap laporan periodik kedua Indonesia

Diadopsi oleh Komite pada sesi ketujuh puluh lima (12 Februari – 1 Maret 2024). Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
1 Maret 2024, E/C.12/IDN/CO/2, Distribusi: Umum, Asli: Bahasa Inggris, Versi Awal Tanpa Suntingan
Dokumen asli E/C.12/IDN/CO/2 dalam bahasa Inggris tersedia di Database Badan Perjanjian PBB

  1. Komite mempertimbangkan laporan periodik kedua Indonesia1 pada pertemuan ke-13 dan ke-15,2 yang diselenggarakan pada tanggal 20 dan 21 Februari 2024 dan mengadopsi kesimpulan pengamatan pada pertemuan ke-29, yang diselenggarakan pada tanggal 1 Maret 2024.

A. Pengantar

  1. Komite menyambut baik penyerahan laporan periodik kedua oleh pihak Negara dan informasi tambahan yang diberikan dalam jawaban atas daftar masalah.3 Komite menghargai dialog konstruktif yang diadakan dengan delegasi pihak Negara.

B. Aspek-aspek positif

  1. Komite menyambut baik langkah-langkah legislatif, institusional, dan kebijakan yang diambil untuk meningkatkan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak Negara, seperti UU No. 12 tahun 2022 terkait dengan kejahatan kekerasan seksual; Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) kelima untuk periode 2021-2025, yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 53/2021; Peraturan Presiden No. 22/2021 tentang Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan langkah-langkah yang disebutkan dalam kesimpulan pengamatan ini.

C. Hal-hal utama yang menjadi perhatian dan rekomendasi

Penerapan Kovenan di dalam negeri

  1. Komite menyambut baik informasi yang diberikan oleh Negara peserta mengenai keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Kovenan. Namun demikian, Komite menyesalkan kurangnya informasi mengenai pelatihan khusus bagi para hakim, pengacara dan pejabat publik, termasuk jaksa penuntut umum, mengenai ketentuan-ketentuan Kovenan dan penerapannya.
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara memberikan pelatihan bagi para hakim, pengacara, dan pejabat publik mengenai ketentuan Kovenan dan penerapannya serta mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran akan Kovenan di antara para pemegang hak. Dalam hal ini, Komite menarik perhatian Negara peserta pada komentar umum No. 9 (1998) tentang penerapan Kovenan di dalam negeri.

Lembaga-lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (NHRI)

  1. Komite prihatin bahwa sumber daya manusia dan keuangan yang dialokasikan untuk NHRI di Negara peserta mungkin tidak cukup bagi lembaga-lembaga ini untuk melaksanakan mandatnya secara penuh.
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara lebih memperkuat Lembaga Hak Asasi Manusia Nasionalnya dengan menyediakan sumber daya manusia dan keuangan yang memadai untuk memungkinkan mereka melaksanakan mandatnya secara efektif dan independen, termasuk dalam hal pemajuan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Komite juga merekomendasikan agar pihak Negara memastikan bahwa semua lembaga yang mengawasi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia bekerja sama di bawah kerangka kerja yang komprehensif.

Pembela hak asasi manusia

  1. Komite prihatin dengan kasus-kasus pelecehan, intimidasi dan pembalasan terhadap para pembela hak asasi manusia, terutama mereka yang mengadvokasi hak-hak masyarakat adat dan isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan dan pertanahan, seperti yang dikemukakan dalam laporan berturut-turut dari Sekretaris Jenderal PBB tentang Kerjasama dengan PBB, perwakilannya, dan mekanisme-mekanisme di bidang hak asasi manusia (2021, 2022, 2023) dan dalam komunikasi yang dilakukan oleh para pemegang mandat Prosedur Khusus PBB.4 Dalam hal ini, Komite prihatin dengan penggunaan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mengkriminalisasi pekerjaan para pembela hak asasi manusia. Komite juga khawatir dengan meningkatnya militerisasi atau mobilisasi kekuatan militer dan polisi untuk menggusur dan membatasi kebebasan berekspresi masyarakat lokal di mana pembangunan proyek-proyek yang memiliki kepentingan strategis nasional sedang berlangsung, seperti yang dicontohkan oleh proyek Mandalika.
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa para pembela hak asasi manusia, khususnya mereka yang mengadvokasi hak-hak masyarakat adat dan isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan dan tanah, dapat melakukan pekerjaan mereka dalam lingkungan yang aman dan memungkinkan;
    2. Mengubah atau mencabut ketentuan pidana yang terlalu luas yang terkandung dalam Pasal 27 dan 28 revisi UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan penyebaran informasi palsu, dan memastikan bahwa para pembela hak asasi manusia tidak dikriminalisasi karena melakukan pekerjaan mereka;
    3. Melakukan investigasi yang cepat, menyeluruh, dan tidak memihak terhadap semua laporan pelecehan, intimidasi, dan pembalasan terhadap para pembela hak asasi manusia dan memastikan para pelakunya diadili;
    4. Segera meninjau dan mengambil langkah-langkah untuk memantau dan mencegah militerisasi atau mobilisasi pasukan militer dan polisi dalam proyek-proyek pembangunan;
    5. Mempertimbangkan pernyataan Komite tentang pembela hak asasi manusia dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.5

Bisnis dan hak asasi manusia

  1. Komite menyambut baik pemberlakuan Strategi Nasional untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia melalui Peraturan Presiden No. 60 tahun 2023. Namun, Komite prihatin bahwa Strategi tersebut: (a) tidak mencakup uji tuntas hak asasi manusia yang wajib; (b) tidak mencakup tindakan kebijakan yang menonjol pada industri yang diketahui berdampak negatif terhadap lingkungan dan penikmatan hak asasi manusia; dan (c) tidak memiliki rencana aksi terkait masyarakat, tanah, dan sumber daya alam yang terkena dampak. Komite juga mencatat keberadaan yang cukup besar dari badan usaha milik Negara dan entitas di mana pihak Negara memiliki saham minoritas, di berbagai industri, terutama yang telah menyebabkan dampak negatif dan pelanggaran hak asasi manusia, serta tidak adanya rencana konkret untuk mewajibkan mereka melakukan uji tuntas hak asasi manusia dalam operasi mereka di dalam dan luar negeri.
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara meninjau kembali Strategi Nasional tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, melalui konsultasi dengan masyarakat adat, masyarakat yang terkena dampak dan pemangku kepentingan yang relevan, untuk (a) memastikan bahwa badan usaha yang beroperasi atau berdomisili di pihak Negara melakukan uji tuntas hak asasi manusia di seluruh operasi dan rantai pasoknya, dengan memprioritaskan badan usaha milik Negara dan badan usaha di mana pihak Negara memiliki kepemilikan saham; (b) menyertakan langkah-langkah kebijakan yang menyasar industri-industri yang diketahui berdampak negatif terhadap lingkungan dan penikmatan hak asasi manusia, khususnya industri minyak kelapa sawit dan pertambangan nikel; dan (c) menyertakan rencana aksi atas masalah-masalah yang mendasari masyarakat, tanah dan sumber daya alam yang terkena dampak.
  3. Komite prihatin dengan dampak negatif dari proyek-proyek pembangunan skala besar dan kegiatan bisnis terhadap lingkungan dan penikmatan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, terutama oleh masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak. Dalam hal ini, Komite prihatin, antara lain, tentang dampak lingkungan dan hak asasi manusia dari pembangunan ibu kota baru Nusantara, dan kabut asap lintas batas yang disebabkan oleh pengeringan dan pembakaran lahan gambut di pihak Negara .
  4. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Melaksanakan penilaian dampak hak asasi manusia dan lingkungan yang sistematis, terbuka dan independen dalam konteks proyek-proyek pembangunan dan kegiatan bisnis secara transparan dan komprehensif, dengan informasi mengenai dampaknya terhadap penikmatan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak;
    2. Mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan akuntabilitas atas pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diakibatkan oleh proyek-proyek pembangunan dan kegiatan bisnis dan memastikan bahwa pemulihan yang tepat diberikan kepada para korban;
    3. Mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi pesisir selama pelaksanaan pembangunan ibu kota baru Nusantara;
    4. Menerapkan Perjanjian ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas, termasuk pengenalan undang-undang pencegahan dan mitigasi kabut asap yang spesifik;
    5. Terlibat dalam konsultasi yang bermakna dengan masyarakat yang terkena dampak, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan terkait dalam pengembangan dan implementasi undang-undang dan peraturan yang terkait dengan perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam;
    6. Dipandu oleh komentar umum Komite No. 24 (2017) tentang kewajiban negara di bawah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam konteks kegiatan bisnis.
  5. Komite prihatin dengan implementasi UU No. 6 tahun 2023 (UU Cipta Kerja), yang, antara lain: (a) memudahkan persyaratan bagi perusahaan untuk melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara menyeluruh sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin usaha; (b) mengecualikan masyarakat yang terkena dampak tidak langsung, masyarakat sipil, pembela hak asasi manusia, dan pakar lingkungan untuk berpartisipasi dalam konsultasi publik selama proses persiapan AMDAL; dan (c) menghapus persyaratan yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan kehutanan yang digariskan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 (UU Kehutanan). Komite juga prihatin dengan implementasi UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berisi beberapa ketentuan yang memudahkan persyaratan dan mekanisme untuk mendapatkan dan mengeluarkan izin pertambangan dan yang, berdasarkan Pasal 162, telah dilaporkan digunakan untuk menangkap individu yang memprotes kegiatan pertambangan.
  6. Komite merekomendasikan agar negara pihak meninjau dan mengamandemen UU No. 6 tahun 2023 (UU Cipta Kerja) untuk, antara lain (a) mengembalikan persyaratan bagi perusahaan untuk melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara menyeluruh sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin usaha; (b) memastikan bahwa proses analisis mengenai dampak lingkungan yang dilembagakan oleh UU Cipta Kerja memberikan kesempatan kepada masyarakat, termasuk organisasi masyarakat sipil, pembela hak asasi manusia, dan anggota masyarakat, untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai proyek yang diusulkan; dan (c) mengembalikan persyaratan yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan kehutanan sebagaimana diuraikan dalam UU No. 41 tahun 1999 (UU Kehutanan), untuk memastikan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan. Komite juga merekomendasikan agar pihak Negara meninjau dan mengamandemen UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk memastikan bahwa izin pertambangan dikeluarkan dengan kepatuhan yang ketat terhadap standar lingkungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk melindungi hak-hak individu untuk memprotes secara damai terhadap kegiatan pertambangan tanpa takut akan penangkapan atau pembalasan.

Hak-hak masyarakat adat

  1. Komite prihatin dengan masalah yang sedang berlangsung dalam pengakuan masyarakat adat di pihak Negara yang memberikan tantangan sehubungan dengan pendaftaran legal formal atas hak-hak kolektif mereka atas tanah. Lebih jauh lagi, Komite prihatin dengan laporan-laporan mengenai perampasan, pemindahan dan relokasi masyarakat adat dari tanah dan wilayah adat mereka, yang sering kali tidak menghormati hak mereka untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (pasal 1 (2)).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Mengesahkan RUU Hak-Hak Masyarakat Adat untuk menyederhanakan proses pengakuan terhadap masyarakat adat dan tanah-tanah adat mereka;
    2. Mempercepat upaya-upaya untuk menjamin hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, menggunakan, menguasai dan mengembangkan tanah, wilayah dan sumber daya yang secara tradisional telah mereka miliki, tempati atau gunakan atau dapatkan, termasuk dengan memperluas cakupan Masyarakat Hukum Adat;
    3. Mencabut atau mengubah undang-undang yang melemahkan hak mereka atas penggunaan lahan dan/atau mengecualikan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan tentang semua hal yang memengaruhi mereka, seperti ketentuan yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 tentang hak atas tanah adat dalam UU Cipta Kerja dan UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
    4. Mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin bahwa konsultasi sebelumnya dilakukan secara sistematis dan transparan untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan dari masyarakat adat dalam konteks keputusan yang kemungkinan besar akan mempengaruhi mereka, terutama sebelum pemberian izin untuk proyek pembangunan dan kegiatan bisnis, terutama kegiatan perkebunan dan pertambangan, di tanah dan wilayah yang secara tradisional telah mereka miliki, tempati, atau gunakan;
    5. Mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang Masyarakat Adat dan Masyarakat Adat, 1989 (No. 169), dan dipandu oleh dan mengikuti komentar umum Komite No. 26 (2022) tentang hak-hak atas tanah dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak atas tanah masyarakat adat.

Memaksimalkan sumber daya yang tersedia

  1. Walaupun Komite mengakui upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak Negara untuk mengurangi kesenjangan regional, Komite prihatin dengan ketidaksetaraan yang mencolok dalam hal ketersediaan layanan publik, khususnya layanan kesehatan, antara daerah dan provinsi di Negara peserta. Komite juga prihatin bahwa kebijakan fiskal tidak memadai untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang masih ada di Negara peserta (pasal 2 (1)).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Menetapkan mekanisme yang kuat untuk alokasi sumber daya untuk meningkatkan pemberian layanan dan kualitas layanan publik dasar, seperti dalam kasus layanan kesehatan di daerah pedesaan;
    2. Mengadopsi kebijakan fiskal yang lebih efisien, progresif dan berkeadilan sosial dengan, antara lain, meninjau kembali bagian dari total pendapatan Negara yang berasal dari pendapatan perorangan dan perusahaan dengan tujuan untuk memperluas basis pajak dan ruang fiskal demi realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya secara progresif serta meningkatkan dampak redistribusi dari perpajakan;
    3. Melakukan penilaian menyeluruh, dengan partisipasi para pemangku kepentingan sosial, atas dampak kebijakan fiskal terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk analisis dampak redistribusi dan beban pajak pada berbagai sektor dan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan kurang beruntung, serta kelompok-kelompok yang berada di pulau-pulau terpencil.

Korupsi

  1. Komite tetap prihatin bahwa korupsi terus meluas di semua tingkat administrasi pihak Negara. Komite secara khusus prihatin dengan laporan bahwa revisi UU No. 19 tahun 2019 melemahkan independensi dan efektivitas Komisi Pemberantasan Korupsi (pasal 2 (1)).
  2. Mengingat kesimpulan pengamatan sebelumnya, Komite merekomendasikan agar pihak Negara mengintensifkan upayanya untuk memerangi korupsi dan impunitas terkait dan memastikan bahwa urusan publik, dalam hukum dan praktik, dilakukan secara transparan. Komite juga merekomendasikan agar pihak Negara meningkatkan kesadaran di kalangan politisi, anggota Parlemen dan pejabat Pemerintah nasional dan lokal tentang kerugian ekonomi dan sosial akibat korupsi, dan di kalangan hakim, jaksa dan polisi tentang perlunya penegakan hukum yang tegas. Komite juga merekomendasikan agar Negara meninjau kembali UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tujuan mengembalikan independensi dan efektivitas KPK.

Non-diskriminasi

  1. Komite prihatin dengan tidak adanya undang-undang anti-diskriminasi yang komprehensif yang mencakup semua dasar diskriminasi di semua bidang yang tercakup dalam Kovenan, termasuk orientasi seksual dan identitas gender. Komite juga prihatin dengan ketentuan-ketentuan diskriminatif yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan daerah yang didasarkan pada jenis kelamin, orientasi seksual, identitas gender, dan agama, termasuk peraturan daerah yang mewajibkan penggunaan jilbab. Komite juga prihatin dengan ketentuan diskriminatif yang terdapat dalam Pasal 411 dan 412 KUHP yang baru saja diadopsi, yang mengkriminalisasi hubungan seks di luar pernikahan dan kumpul kebo antara pasangan yang belum menikah yang dituntut berdasarkan pengaduan dari anggota keluarga dekat. Dalam hal ini, Komite sangat prihatin bahwa ketentuan-ketentuan ini secara de facto mengkriminalisasi perilaku seks sesama jenis karena perkawinan sesama jenis tidak diakui di pihak Negara (pasal 2(2)).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara mengadopsi undang-undang yang komprehensif mengenai non-diskriminasi yang memberikan perlindungan yang memadai terhadap diskriminasi sesuai dengan pasal 2 Kovenan dan yang (a) secara eksplisit mencakup semua alasan diskriminasi yang dilarang yang disebutkan dalam pasal tersebut dan sebagaimana diuraikan dalam komentar umum Komite No. 20 (2009), termasuk orientasi seksual dan identitas gender; (b) mendefinisikan diskriminasi langsung dan tidak langsung sesuai dengan kewajiban Negara peserta di bawah Kovenan; (c) melarang diskriminasi di ruang publik dan ruang privat; dan (d) menyediakan upaya hukum yang efektif untuk kasus-kasus diskriminasi. Lebih lanjut, Komite merekomendasikan agar pihak Negara mencabut ketentuan-ketentuan diskriminatif dalam hukum dan peraturan daerah, khususnya yang didasarkan pada jenis kelamin, orientasi seksual, identitas gender, dan agama, termasuk peraturan daerah yang mewajibkan jilbab. Komite juga merekomendasikan agar pihak Negara mencabut Pasal 411 dan 412 KUHP dan, oleh karena itu, mendekriminalisasi hubungan seks di luar pernikahan, kumpul kebo antara pasangan yang belum menikah, dan hubungan sesama jenis antara orang dewasa yang saling menyetujui.
  3. Komite prihatin dengan keharusan pencantuman afiliasi agama seseorang dalam dokumen identitas pribadi mereka, yang dapat menghalangi seseorang dalam mengambil keputusan untuk mempraktekkan suatu agama atau keyakinan. Komite juga prihatin dengan kurangnya pilihan yang tersedia bagi individu yang ingin mengubah status agama mereka atau mengidentifikasi diri mereka sebagai tidak beragama, yang dapat menyebabkan diskriminasi terhadap mereka (pasal 2(2)).
  4. Komite merekomendasikan agar pihak Negara mengambil langkah-langkah hukum dan administratif yang progresif untuk menghapuskan persyaratan pencantuman afiliasi agama seseorang dalam dokumen identitas pribadi mereka.

Pengungsi dan pencari suaka

  1. Meskipun mengakui tradisi panjang pihak Negara dalam memberikan akses dan menampung pengungsi serta tantangan-tantangan yang dihadapinya, termasuk masuknya pengungsi Rohingya secara signifikan baru-baru ini, Komite prihatin dengan hambatan-hambatan terhadap kemampuan para pencari suaka dan pengungsi untuk menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka secara penuh. Dalam hal ini, Komite secara khusus prihatin dengan kurangnya akses mereka terhadap pekerjaan, variasi yang cukup besar dalam pelaksanaan akses mereka terhadap pendidikan di seluruh pihak Negara, dan hambatan yang dihadapi terkait dengan akses terhadap perawatan kesehatan (pasal 2(2)).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara menjamin penikmatan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh para pencari suaka dan pengungsi di pihak Negara, khususnya yang berkaitan dengan hak mereka atas pekerjaan dan pendidikan, dan mengatasi hambatan-hambatan terhadap akses mereka terhadap pelayanan kesehatan, seperti yang berkaitan dengan biaya dan bahasa. Komite juga merekomendasikan agar pihak Negara mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi atau Protokol 1967.

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan

  1. Komite prihatin bahwa masih terdapat kesenjangan gender yang besar dalam partisipasi pasar tenaga kerja, terutama karena stereotip gender yang masih ada dan pembagian tanggung jawab keluarga yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki (pasal 3).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara mengambil semua langkah yang diperlukan untuk meningkatkan tingkat partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja, termasuk melalui promosi kampanye peningkatan kesadaran dan praktek-praktek yang baik untuk melawan perubahan stereotip gender, serta melalui perluasan jaringan publik layanan penitipan anak dan layanan lainnya untuk anak-anak yang memiliki tanggungan dan tanggungan lainnya. Komite merujuk pihak Negara pada komentar umum No. 16 (2005) tentang hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial dan budaya.

Hak untuk bekerja

  1. Walaupun Komite menyambut baik upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Negara untuk mempromosikan akses terhadap pekerjaan dan pencapaian-pencapaiannya baru-baru ini dalam penciptaan lapangan kerja dan pelatihan kejuruan bagi kaum muda, Komite prihatin bahwa tingkat pengangguran kaum muda masih tetap tinggi, dan jumlah pekerja yang masuk ke dalam pasar tenaga kerja dengan kualifikasi yang sesuai belum dapat mengimbangi pertumbuhan lapangan kerja yang membutuhkan keterampilan yang lebih tinggi. Komite juga prihatin dengan banyaknya orang yang bekerja di sektor ekonomi informal dan bentuk-bentuk pekerjaan non-tradisional, termasuk pengemudi dan pekerja lepas berbasis platform online (pasal 6).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara meningkatkan upayanya untuk memerangi pengangguran melalui langkah-langkah yang ditargetkan secara khusus, khususnya yang ditujukan untuk kaum muda, termasuk dengan mengatasi ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pasar tenaga kerja melalui peningkatan lebih lanjut kualitas pelatihan dan pendidikan teknis dan kejuruan. Komite juga merekomendasikan agar Negara peserta memperkuat upaya-upaya untuk memfasilitasi transisi pekerja dan unit-unit ekonomi dari ekonomi informal ke ekonomi formal.

Hak atas kondisi kerja yang adil dan menguntungkan

  1. Komite prihatin bahwa UU Cipta Kerja berdampak negatif terhadap hak-hak pekerja dengan (a) melemahkan jaminan yang diberikan oleh jaminan upah minimum dan peraturan pemerintah yang terkait, khususnya dengan mengecualikan usaha mikro, kecil dan menengah dari ketentuan upah minimum; (b) berdampak negatif terhadap hak-hak pekerja yang di-PHK; dan (c) merusak kemampuan serikat pekerja untuk berpartisipasi dalam penentuan upah minimum sektoral. Komite juga prihatin dengan laporan bahwa implementasi UU Cipta Kerja memberdayakan pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja hanya dengan memberikan pemberitahuan dan telah meningkatkan penggunaan kontrak sementara (pasal 6 – 8).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara meninjau dan mengamandemen UU Cipta Kerja untuk (a) mengembalikan jaminan upah minimum untuk semua pekerja, termasuk mereka yang bekerja di usaha mikro, kecil, dan menengah; (b) memperkuat perlindungan bagi pekerja yang di-PHK; (c) memastikan partisipasi yang berarti dari serikat pekerja dalam pengambilan keputusan tentang upah minimum sektoral, dan mengatur penggunaan kontrak kerja sementara untuk mencegah eksploitasi dan mendorong jaminan pekerjaan.
  3. Komite prihatin dengan kurangnya perlindungan standar ketenagakerjaan yang komprehensif bagi pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, nelayan, pekerja perkebunan kelapa sawit, dan pekerja migran di dalam pihak Negara, yang beresiko mengalami kecelakaan kerja, kondisi kerja yang kejam, dan eksploitasi (pasal 7).
  4. Komite merekomendasikan agar pihak Negara menjamin hak atas kondisi kerja yang adil dan menguntungkan dalam hukum dan praktik bagi semua pekerja, termasuk khususnya pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, nelayan, pekerja perkebunan kelapa sawit, dan pekerja migran, serta mengambil langkah-langkah untuk mencegah dan menangani kecelakaan kerja, kondisi kerja yang kejam dan eksploitasi. Komite juga merekomendasikan agar pihak negara memastikan mekanisme penegakan hukum yang efektif dan menyediakan jalan yang dapat diakses untuk ganti rugi bagi pekerja yang mengalami pelanggaran hak-hak mereka. Lebih lanjut, Komite merekomendasikan agar pihak Negara mempercepat penerbitan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi Pekerja Rumah Tangga, 2011 (No. 189). Komite merujuk pihak Negara pada komentar umum No. 23 (2016) tentang hak atas kondisi kerja yang adil dan menguntungkan.

Kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja

  1. Komite prihatin dengan tidak adanya langkah-langkah komprehensif untuk memberikan perlindungan yang memadai di bidang kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja, termasuk pencegahan kecelakaan kerja. Walaupun Komite mengakui adanya peningkatan jumlah pengawas ketenagakerjaan, Komite prihatin dengan terbatasnya kapasitas dan sumber daya untuk melakukan pengawasan ketenagakerjaan dengan cakupan dan frekuensi yang memadai di seluruh pihak Negara (pasal 7).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Mengadopsi sistem perlindungan yang komprehensif dari bahaya-bahaya pekerjaan yang memberikan perlindungan yang memadai bagi semua pekerja, termasuk pekerja di sektor informal, jika terjadi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja;
    2. Memastikan bahwa mekanisme pengawasan ketenagakerjaan memiliki sumber daya manusia, teknis dan keuangan untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi semua pekerja, termasuk pekerja di sektor informal;
    3. Mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 (No. 155).

Hak-hak serikat pekerja

  1. Komite prihatin tentang:
    1. Perlindungan yang tidak memadai terhadap tindakan campur tangan;
    2. Pembatasan hukum atas hak organisasi pekerja untuk mengatur kegiatan mereka;
    3. Pembatasan terhadap hak pegawai negeri untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi yang mereka pilih sendiri;
    4. Laporan pelecehan dan penggunaan kekerasan terhadap pekerja selama aksi mogok kerja.
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Mengubah pasal 122 Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk melarang kehadiran pengusaha selama prosedur pemungutan suara;
    2. Mengevaluasi kembali ruang lingkup dan penerapan Keputusan Presiden No. 63/2004 dan Keputusan Menteri Perindustrian No. 466/2014 untuk memastikan bahwa langkah-langkah keamanan yang terkait dengan objek vital nasional (NVO) tidak melanggar hak-hak serikat pekerja dan aktor masyarakat sipil yang sah lainnya, dan mengamandemen definisi NVO untuk mencegah pengklasifikasian kegiatan serikat pekerja sebagai ancaman;
    3. Memastikan bahwa pegawai negeri dapat membentuk dan bergabung dengan organisasi apa pun yang mereka pilih;
    4. Memastikan bahwa pekerja dapat menggunakan hak-hak mereka, termasuk hak untuk mogok, tanpa pembatasan yang tidak semestinya dan ketakutan akan intimidasi dan pembalasan.

Hak atas jaminan sosial

  1. Walaupun mencatat kemajuan yang telah dicapai oleh pihak Negara dalam memperluas sistem jaminan sosialnya, Komite prihatin bahwa masih banyak orang yang belum tercakup dalam sistem jaminan sosial, termasuk para pekerja di sektor ekonomi informal dan mereka yang termasuk dalam kelompok-kelompok yang paling tidak beruntung dan terpinggirkan (pasal 9).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara menetapkan dasar perlindungan sosial yang mencakup jaminan sosial universal dasar dan melipatgandakan upayanya untuk mengembangkan sistem jaminan sosial yang menjamin cakupan universal dan memberikan manfaat yang cukup bagi semua orang, terutama mereka yang termasuk dalam kelompok-kelompok yang paling tidak beruntung dan terpinggirkan, untuk memastikan bahwa mereka memiliki standar hidup yang layak. Komite meminta perhatian pihak Negara pada komentar umum No. 19 (2007) tentang hak atas jaminan sosial, khususnya dalam ekonomi informal, dan pernyataannya yang berjudul “Dasar-dasar perlindungan sosial: elemen penting dari hak atas jaminan sosial dan tujuan pembangunan berkelanjutan”.6

Perlindungan terhadap keluarga

  1. Komite prihatin dengan kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2023 (Circular Note No. 2/2023), yang menolak pengakuan hukum atas pernikahan beda agama dan dampak buruknya terhadap minoritas agama dan perempuan (pasal 3, 10, dan 15).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara secara efektif menerapkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan dalam hal memastikan akses terhadap akta perkawinan tanpa diskriminasi dan agar Mahkamah Agung mencabut Surat Edaran No. 2/2023 yang menolak pengakuan hukum atas perkawinan beda agama.

Pencatatan Kelahiran

  1. Komite prihatin dengan sejumlah besar anak-anak, termasuk anak-anak pengungsi, yang tidak memiliki akta kelahiran, yang meningkatkan risiko mereka tanpa kewarganegaraan dan menciptakan hambatan bagi mereka untuk menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk akses terhadap perawatan kesehatan dan pendidikan (pasal 10).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara mengintensifkan upayanya untuk mendaftarkan semua anak yang lahir dan tinggal di negara tersebut, termasuk anak-anak pengungsi, seraya menjamin akses mereka terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Komite juga merekomendasikan agar pihak Negara mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan.

Hak atas pangan

  1. Walaupun Komite mengakui kemajuan yang telah dicapai oleh pihak Negara dalam meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, Komite prihatin bahwa masih ada tantangan-tantangan yang signifikan, termasuk meningkatnya beban tiga kali lipat dari kekurangan gizi, kemiskinan dan tidak memadainya akses terhadap pangan yang terjangkau dan bergizi, kerentanan terhadap goncangan-goncangan dari luar seperti perubahan iklim dan bencana alam, dan kesenjangan dalam ketersediaan dan distribusi pangan, khususnya di daerah-daerah terpencil (pasal 11).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Mengambil langkah-langkah untuk mengatasi tiga beban malnutrisi (kekurangan gizi, kekurangan mikronutrien, dan kelebihan berat badan/obesitas);
    2. Meningkatkan akses terhadap pangan yang beragam melalui pengembangan sistem pangan yang beragam, tangguh, dan peka terhadap gizi;
    3. Memastikan bahwa program-program perlindungan sosial menyasar mereka yang paling membutuhkan;
    4. Memastikan bahwa pelaksanaan program pangan didasarkan pada hak asasi manusia atas pangan, termasuk melakukan konsultasi menyeluruh dengan masyarakat adat, komunitas petani, dengan tetap menghormati pertanian lokal dan mendukung sistem produsen pangan kecil.
    5. Memastikan bahwa program pangan dilaksanakan sesuai dengan hak asasi manusia atas pangan, termasuk melakukan konsultasi menyeluruh dengan masyarakat adat, komunitas petani, dan perempuan. Selain itu, menjunjung tinggi penghormatan terhadap pertanian lokal dan mendukung sistem produsen pangan kecil.
    6. Mempromosikan pola makan yang seimbang melalui strategi komunikasi perubahan sosial dan perilaku yang efektif dan memastikan keterjangkauan pola makan yang beragam;
    7. Dipandu oleh komentar umum Komite No. 12 (1999) tentang hak atas pangan yang cukup dan Panduan Sukarela untuk Mendukung Realisasi Progresif Hak atas Pangan yang Cukup dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional, yang diadopsi oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Konflik tanah dan penggusuran paksa

  1. Komite prihatin dengan dampak negatif yang signifikan dari konflik tanah terhadap pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Komite juga prihatin dengan tingginya jumlah masyarakat yang dilaporkan telah digusur secara paksa atau yang menghadapi risiko digusur secara paksa, terutama dalam konteks pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (pasal 11).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Menyederhanakan dan menyelaraskan kerangka hukum dan peraturan mengenai pengelolaan tanah dan sumber daya alam;
    2. Menjamin transparansi dan koordinasi antara kementerian dan lembaga pemerintah yang diberi mandat untuk mengelola penggunaan tanah dan sumber daya alam;
    3. Menjamin bahwa para korban pelanggaran hak asasi manusia dalam kaitannya dengan sengketa tanah memiliki akses terhadap upaya hukum yang efektif dan pemulihan;
    4. Mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah penggusuran paksa, terutama dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dan memastikan bahwa para korban memiliki akses ke pemulihan yang efektif yang memungkinkan pemulihan properti mereka, kembali ke rumah atau tanah mereka atau alternatif yang sesuai, dan kompensasi yang sesuai;
    5. Memastikan bahwa pelaksanaan Proyek Strategis Nasional tidak mengakibatkan penggusuran paksa terhadap masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di daerah terkait;
    6. Jika relokasi dilakukan dengan persetujuan masyarakat yang terkena dampak, terapkan langkah-langkah khusus untuk memastikan bahwa relokasi tersebut tidak berdampak buruk pada mata pencaharian mereka.

Perubahan iklim dan perlindungan lingkungan

  1. Komite prihatin bahwa terlepas dari komitmen pihak Negara untuk mengurangi ketergantungannya pada batubara, telah terjadi peningkatan jumlah pembangkit listrik tenaga batubara di seluruh pihak Negara yang dapat mempengaruhi upaya pihak Negara untuk memenuhi kontribusi yang ditentukan secara nasional di bawah Persetujuan Paris pada tahun 2030 (pasal 11).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara mengintensifkan upayanya untuk mencapai rencana kontribusi yang ditentukan secara nasional di bawah Perjanjian Paris dan mengurangi emisi gas rumah kaca, khususnya dengan secara efektif mengurangi ketergantungannya pada batu bara dan mempromosikan sumber energi alternatif dan terbarukan dengan tetap menjunjung tinggi kewajiban hak asasi manusia, termasuk hak masyarakat adat untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC). Komite merujuk pihak Negara pada pernyataannya tentang perubahan iklim dan Kovenen dan pernyataan bersama dengan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, Komite Hak-Hak Anak, dan Komite Hak-Hak Penyandang Disabilitas tentang hak asasi manusia dan perubahan iklim.7
  3. Komite prihatin dengan kerentanan yang tinggi dari pihak Negara terhadap dampak perubahan iklim, termasuk kejadian-kejadian ekstrim seperti banjir dan kekeringan, dan perubahan jangka panjang akibat kenaikan permukaan air laut, pergeseran pola curah hujan, dan peningkatan suhu. Komite juga prihatin dengan dampak deforestasi, degradasi hutan, dan produksi limbah terhadap perubahan iklim, polusi udara, tanah dan air, dan hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk ekosistem laut, yang mempengaruhi, khususnya, mata pencaharian masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak dan memperburuk kerentanan mereka (pasal 11).
  4. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Memastikan bahwa sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan, digunakan sesuai dengan kebijakan konservasi yang adil dan merata yang dikembangkan melalui konsultasi dengan masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak, organisasi masyarakat sipil dan pihak berwenang yang bertanggung jawab atas konservasi;
    2. Menghentikan praktik-praktik pembalakan liar dan sedapat mungkin menghentikan penggunaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, termasuk hutan;
    3. Mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi masyarakat pesisir dan daerah-daerah yang padat penduduknya dari naiknya permukaan air laut dan potensi banjir;
    4. Memperkuat implementasi kebijakan dan peraturan pengelolaan sampah, termasuk dengan memperluas cakupan pengumpulan sampah, mengoptimalkan penggunaan infrastruktur saluran air dan drainase yang ada untuk mencegah sampah plastik mencapai laut, mendorong ekonomi sirkular untuk mengurangi konsumsi plastik, dan secara sistematis memantau dan meningkatkan pengelolaan data sampah;
    5. Memastikan pengembangan rencana adaptasi nasional untuk perubahan iklim, dengan mempertimbangkan kebutuhan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan kurang beruntung, terutama masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak, dan yang menggabungkan langkah-langkah adaptasi untuk perubahan iklim yang menghormati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Hak atas kesehatan fisik dan mental

  1. Komite prihatin dengan kesenjangan dalam kualitas dan ketersediaan layanan kesehatan antara daerah perkotaan dan pedesaan atau daerah terpencil, infrastruktur kesehatan yang tidak memadai, dan tingkat kematian ibu yang tinggi. Komite secara khusus prihatin dengan laporan-laporan mengenai keadaan sistem perawatan kesehatan di Tanah Papua, [engl. West Papua] yang ditandai dengan pusat-pusat kesehatan yang ditinggalkan atau dihancurkan dan penurunan yang signifikan pada fasilitas medis, terutama di kabupaten-kabupaten di dataran tinggi, dan situasi kesehatan yang mengerikan bagi para pengungsi (pasal 12).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan yang esensial, terutama bagi individu dan kelompok yang kurang beruntung dan terpinggirkan yang tinggal di daerah pedesaan dan terpencil;
    2. Mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan infrastruktur kesehatan, terutama di daerah pedesaan dan terpencil, termasuk pembangunan dan peningkatan rumah sakit, klinik, dan pusat kesehatan;
    3. Mengalokasikan sumber daya dengan segera untuk membangun kembali dan meningkatkan infrastruktur dan layanan kesehatan di Tanah Papua [engl. West Papua];
    4. Mengizinkan akses kemanusiaan ke pengungsi internal di Tanah Papua [engl. West Papua] untuk organisasi kemanusiaan nasional dan internasional.
  3. Mengakui keprihatinan yang diangkat oleh Komite Hak-hak Penyandang Disabilitas,9 Komite tetap prihatin atas laporan-laporan yang mengindikasikan praktik pemasungan yang sedang berlangsung terhadap individu-individu dengan disabilitas psikososial di dalam keluarga dan di lembaga-lembaga yang penuh sesak dan tidak sehat karena stigma yang meluas dan kurangnya dukungan berbasis masyarakat, termasuk layanan kesehatan mental (pasal 12).
  4. Komite merekomendasikan kepada pihak Negara:
    1. Mengadopsi semua langkah yang diperlukan untuk menghalangi penggunaan pasung, pengasingan, dan semua bentuk pengekangan di dalam keluarga dan di dalam perawatan sosial dan lembaga-lembaga kesehatan jiwa.
    2. Mengembangkan sebuah rencana yang terikat waktu untuk beralih secara progresif ke layanan kesehatan jiwa, dukungan, dan hidup mandiri yang tidak bersifat koersif dan berbasis komunitas.

Kesehatan seksual dan reproduksi

  1. Komite prihatin bahwa KUHP yang baru (UU No. 1/2023) mengkriminalisasi penyebaran informasi tentang kontrasepsi kepada anak-anak dan memberikan informasi tentang aborsi kepada siapa pun. Komite juga prihatin bahwa di bawah KUHP yang baru, aborsi terus dikriminalisasi, dengan beberapa pengecualian. Lebih jauh lagi, Komite prihatin dengan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh perempuan untuk mendapatkan akses terhadap aborsi yang aman, bahkan dalam kasus-kasus yang diizinkan secara hukum (pasal 12).
  2. Mengingat paragraf 34 dari Komentar Umum No. 14 (2000) tentang hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai, Komite merekomendasikan agar pihak Negara meninjau dan mengamandemen KUHP (UU No. 1/2023) untuk mendekriminalisasi penyebaran informasi tentang kontrasepsi kepada anak-anak dan memberikan informasi tentang aborsi kepada siapa pun. Lebih lanjut, Komite merekomendasikan agar pihak Negara mendekriminalisasi aborsi dan memperluas keadaan dimana aborsi diperbolehkan secara hukum. Komite juga merekomendasikan agar pihak Negara menjamin bahwa pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional dan menjamin aksesibilitas dan ketersediaan layanan dan informasi kesehatan seksual dan reproduksi yang tepat dan berkualitas baik, termasuk obat-obatan aborsi, kontrasepsi dan kontrasepsi darurat, untuk semua perempuan dan remaja perempuan di pihak Negara. Dalam hal ini, Komite merekomendasikan agar pihak Negara dipandu oleh komentar umum Komite No. 22 (2016) tentang hak atas kesehatan seksual dan reproduksi dan Pedoman Perawatan Aborsi 2022 dari Organisasi Kesehatan Dunia.

Kebijakan narkoba

  1. Komite prihatin dengan kebijakan narkoba yang bersifat menghukum dari pihak Negara dan laporan-laporan mengenai rehabilitasi paksa terhadap para tahanan, terutama mereka yang ditangkap karena pelanggaran narkoba. Komite juga prihatin dengan terbatasnya penyediaan layanan pengurangan dampak buruk di pihak Negara (pasal 12).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Meninjau kembali kebijakan narkobanya yang bersifat menghukum untuk memprioritaskan strategi pengurangan dampak buruk di atas tindakan-tindakan yang bersifat menghukum, dengan fokus pada pendekatan kesehatan masyarakat dan rehabilitasi sukarela daripada penahanan;
    2. Memastikan bahwa para tahanan yang ditangkap karena pelanggaran narkotika diberikan layanan rehabilitasi yang bersifat sukarela dan berbasis bukti, dengan menghormati hak asasi dan martabat mereka;
    3. Meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan pengurangan dampak buruk, termasuk akses terhadap terapi substitusi opioid, dan layanan pencegahan HIV, untuk secara efektif mengatasi risiko kesehatan terkait penggunaan narkotika.

Hak atas pendidikan

  1. Meskipun Komite menyambut baik upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Negara untuk memperluas akses terhadap pendidikan, Komite prihatin dengan kekurangan dalam hal kualitas pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil; kurangnya infrastruktur sekolah yang memadai, termasuk fasilitas air dan sanitasi yang memadai; dan kesenjangan digital yang memperparah ketidaksetaraan dalam akses dan kesempatan pendidikan. Komite juga prihatin dengan rendahnya angka partisipasi murni dalam pendidikan pra-sekolah dasar (pasal 13 – 15).
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara:
    1. Meningkatkan kualitas pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil, dan mengatasi rendahnya hasil pendidikan, terutama dalam hal matematika dan kemampuan membaca, termasuk melalui investasi yang berkelanjutan dalam pelatihan guru dan peningkatan kondisi kerja bagi mereka;
    2. Meningkatkan infrastruktur sekolah dan materi pembelajaran, dengan perhatian khusus pada kebutuhan anak-anak penyandang disabilitas, dan memastikan bahwa semua sekolah memiliki fasilitas air dan sanitasi yang memadai;
    3. Memastikan akses yang sama terhadap teknologi dan konektivitas internet untuk semua siswa, terutama mereka yang berada di daerah terpencil, untuk memfasilitasi pembelajaran online dan program pendidikan jarak jauh;
    4. Meningkatkan mekanisme pemantauan dan evaluasi untuk melacak kemajuan dalam mengatasi kesenjangan pendidikan;
    5. Melipatgandakan upaya-upayanya untuk meningkatkan pendaftaran pendidikan pra-sekolah dasar dan mempertimbangkan untuk menyediakan pendidikan pra-sekolah dasar secara gratis bagi semua anak di pihak Negara.

D. Rekomendasi-rekomendasi lain

  1. Komite mendorong pihak Negara untuk meratifikasi Protokol Opsional Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
  2. Komite merekomendasikan agar pihak Negara mempertimbangkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen hak asasi manusia inti yang belum menjadi peserta, yaitu Protokol Opsional Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengenai penghapusan hukuman mati; Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia; Protokol Opsional Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas; dan Protokol Opsional Konvensi tentang Hak-hak Anak mengenai prosedur komunikasi. Komite juga merekomendasikan agar pihak Negara meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, yang ditandatangani pada tahun 2010, dan Protokol Opsional untuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang ditandatangani pada tahun 2000.
  3. Komite merekomendasikan agar pihak Negara mempertimbangkan sepenuhnya kewajibannya di bawah Kovenan dan memastikan penikmatan penuh hak-hak yang tercantum di dalamnya dalam pelaksanaan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan di tingkat nasional, termasuk dalam pemulihan dari pandemi COVID-19, dengan bantuan dan kerja sama internasional jika diperlukan. Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan akan secara signifikan difasilitasi oleh pihak Negara yang membentuk mekanisme independen untuk memantau kemajuan dan memperlakukan penerima manfaat program publik sebagai pemegang hak yang dapat mengklaim haknya. Selain itu, Komite merekomendasikan agar pihak Negara mendukung komitmen global dari dekade aksi untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pelaksanaan Tujuan-tujuan tersebut berdasarkan prinsip-prinsip partisipasi, akuntabilitas dan non-diskriminasi akan memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang tertinggal. Dalam hal ini, Komite meminta perhatian pihak Negara pada pernyataannya tentang janji untuk tidak meninggalkan siapapun.9
  4. Komite meminta agar pihak Negara menyebarluaskan kesimpulan observasi ini secara luas di semua tingkat masyarakat, termasuk di tingkat nasional, provinsi dan lokal, khususnya di kalangan anggota parlemen, pejabat publik dan otoritas yudisial, dan menginformasikan kepada Komite pada laporan periodik berikutnya tentang langkah-langkah yang diambil untuk mengimplementasikannya. Komite menekankan peran penting yang dimainkan oleh Parlemen dalam mengimplementasikan kesimpulan observasi ini dan mendorong pihak Negara untuk memastikan keterlibatannya dalam prosedur pelaporan dan tindak lanjut di masa mendatang. Komite mendorong pihak Negara untuk terus terlibat dengan lembaga-lembaga hak asasi manusia nasional, organisasi non-pemerintah dan anggota masyarakat sipil lainnya dalam menindaklanjuti kesimpulan pengamatan ini dan dalam proses konsultasi di tingkat nasional sebelum penyerahan laporan berkala berikutnya.
  5. Sesuai dengan prosedur tindak lanjut terhadap kesimpulan pengamatan yang diadopsi oleh Komite, pihak Negara diminta untuk memberikan, dalam waktu 24 bulan sejak diadopsinya kesimpulan pengamatan ini (31 Maret 2026), informasi mengenai pelaksanaan rekomendasi yang terkandung dalam paragraf 11 (Bisnis dan hak asasi manusia), 17 (a) (Hak-hak masyarakat adat) dan 19 (c) (Maksimum sumber daya yang tersedia) di atas.
  6. Komite meminta pihak Negara untuk menyerahkan laporan periodik ketiga sesuai dengan pasal 16 Kovenan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Maret 2029, kecuali jika diberitahukan sebaliknya sebagai akibat dari perubahan siklus peninjauan. Sesuai dengan resolusi Majelis Umum 68/268, batas kata untuk laporan tersebut adalah 21.200 kata. Selain itu, resolusi ini juga mengundang pihak Negara untuk memperbarui dokumen inti bersama, jika diperlukan, sesuai dengan pedoman yang telah diharmonisasi mengenai pelaporan di bawah perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional.10
  1. E/C.12/IDN/2. ↩︎
  2. See E/C.12/2024/SR.13 and E/C.12/2024/SR.15. ↩︎
  3. E/C.12/IDN/RQ/2 ↩︎
  4. AL IDN 6/2023; AL IDN 2/2023; AL IDN 1/2023; AL IDN 3/2022 ↩︎
  5. E/C.12/2016/2. ↩︎
  6. E/C.12/2015/1 ↩︎
  7. See https://www.ohchr.org/en/statements/2019/09/five-un-human-rights-treaty-bodies-issue-joint-statement-human-rights-and. ↩︎
  8. CRPD/C/IDN/CO/1 ↩︎
  9. E/C.12/2019/1. ↩︎
  10. HRI/GEN/2/Rev.6, chap. I. ↩︎