Laporan penelitian setebal 49 halaman yang berjudul “Tumpas habis dulu. Urusan HAM kita bicarakan kemudian – Investigasi terhadap operasi Pasukan Keamanan Indonesia di Kiwirok di bawah hukum internasional” menyediakan analisis yang cermat dan ilmiah tentang serangan pasukan keamanan terhadap desa-desa adat di Distrik Kiwirok, Provinsi Papua Pegunungan, Indonesia antara 13 September dan akhir Oktober 2021. Laporan ini membahas berbagai bukti serangan dan menyoroti kebutuhan mendesak akan perhatian dan tindakan internasional di Tanah Papua.
Pada bulan April 2021, Bambang Soesatyo, seorang tokoh politik terkemuka di Indonesia, secara terbuka menyerukan tindakan tegas terhadap kelompok separatis di Tanah Papua setelah peristiwa pembunuhan seorang pejabat intelijen Indonesia. Beberapa bulan berikutnya terjadi penggerebekan yang intens terhadap desa-desa adat di Distrik Kiwirok, dimana aparat keamanan menyebabkan kerusakan yang meluas dan membuat lebih dari 2.000 warga suku Ngalum mengungsi. Gambar satelit mengkonfirmasi kehancuran yang terjadi, dengan 206 bangunan hancur. Sifat sistematis dan meluas dari serangan ini menimbulkan pertanyaan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dicantumkan pada Statuta Roma. Hal ini mendesak dilakukannya investigasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI).
“Temuan utama dari laporan ini termasuk contoh-contoh kekerasan yang sengaja dilakukan terhadap warga sipil asli Papua oleh pasukan keamanan, yang menyebabkan hilangnya nyawa dan pengungsian paksa yang memenuhi definisi kejahatan terhadap kemanusiaan menurut Statuta Roma,” kata Eliot Higgins, Direktur Bellingcat.
Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia mengatakan:“Impunitas terhadap kekerasan oleh aparat keamanan merupakan keprihatinan besar, baik dari perspektif hak asasi manusia maupun perspektif konflik. Laporan ini memberikan informasi yang diperlukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menangani kasus ini.”
Peter Prove, Direktur Urusan Internasional di Dewan Gereja Dunia menjelaskan “…hal ini (konflik di Tanah Papua) masih merupakan krisis tersembunyi, yang sebagian besar dilupakan oleh masyarakat internasional – sebuah situasi yang sangat sesuai dengan harapan Pemerintah Indonesia. Laporan ini membantu menyoroti satu bagian tertentu dari konflik tersebut, namun dari situ gambaran yang lebih luas dapat diekstrapolasi. “
Foto pembakaran rumah di Desa Mangoldogi, Distrik Kiwirok, diambil saat bentrokan bersenjata antara TPNPB dan pasukan keamanan Indonesia terpecah pada 13 September 2021.
Ringkasan Eksekutif
Pada tanggal 26 April 2021, Bambang Soesatyo, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga legislatif dalam sistem politik Indonesia, dikutip media mengatakan, “Tumpas habis dulu. Urusan HAM kita bicarakan kemudian”. Soesatyo membuat pernyataan tersebut sebagai tanggapan atas pembunuhan Kepala Intelijen Papua, I Gusti Putu Danny, oleh anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di Kabupaten Puncak pada tanggal 26 April 2021.
Pernyataan Bapak Soesatyo menunjukkan rendahnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam operasi aparat keamanan Indonesia terhadap TPNPB dan menunjukkan frustrasi pemerintah pusat terhadap konflik bersenjata yang telah berlangsung selama lima dekade di Tanah Papua. Soesatyo meminta pemerintah untuk mengubah kebijakannya di Tanah Papua dan mengambil pendekatan kekerasan terhadap perlawanan bersenjata, meskipun langkah tersebut jelas berdampak buruk pada penduduk sipil. Ia mengulangi pernyataan ini pada tanggal 18 September 2021,
Laporan ini memberikan informasi rinci tentang serangkaian serangan aparat keamanan di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan (hingga tahun 2022 masih bagian dari Provinsi Papua) antara tanggal 13 September dan akhir Oktober 2021. Aparat keamanan Indonesia berulang kali menyerang delapan desa adat di Distrik Kiwirok, menggunakan helikopter dan pesawat tanpa awak. Helikopter-helikopter tersebut dilaporkan menjatuhkan granat mortir ke rumah-rumah warga sipil dan bangunan gereja sambil menembaki warga sipil tanpa pandang bulu. Pasukan darat membakar gedung-gedung publik serta rumah-rumah penduduk dan membunuh hewan-hewan ternak milik penduduk. Sebagai balasannya, sekolah dan bangunan umum yang digunakan oleh pasukan keamanan sebagai markas dibakar habis oleh para anggota TPNPB.
Serangan terhadap desa-desa adat memiliki konsekuensi yang luas bagi masyarakat adat Ngalum di Distrik Kiwirok. Analisis gambar satelit menunjukkan bahwa 206 bangunan di delapan desa dihancurkan selama operasi pasukan keamanan di Kiwirok, termasuk rumah-rumah dan bangunan umum seperti gereja dan sekolah. Setidaknya 2.252 masyarakat adat Ngalum melarikan diri dari desa mereka dan belum kembali ke kampung halaman hingga Juni 2023. Situasi keamanan di Kiwirok masih belum tenang. Pos-pos keamanan dan posisi penembak jitu di Distrik Kiwirok membatasi kebebasan bergerak dan menimbulkan ketakutan di antara para pengungsi. Sebagian besar pengungsi internal (IDP) dari Kiwirok terpaksa tinggal di tempat penampungan di hutan tanpa akses ke layanan kesehatan atau pendidikan dan dengan kesulitan ketahanan pangan yang serius. Kebanyakan pengungsi adalah perempuan, lansia, dan anak-anak. Mereka tidak menerima bantuan dari pemerintah dalam bentuk apapun.
Pola penyerbuan aparat keamanan ini menimbulkan pertanyaan apakah operasi pasukan pemerintah Indonesia di Kiwirok sudah sesuai dengan hukum humaniter internasional. Statuta Roma memberikan definisi hukum untuk kejahatan yang paling serius seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Definisi ini mencakup pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Menurut Pasal 7 Statuta Roma, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘kekejaman yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas, yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil’, mulai dari pembunuhan dan pemusnahan hingga pemindahan penduduk secara paksa.
Investigasi sumber terbuka (‘open source investigation’) terhadap operasi pasukan keamanan di Kiwirok antara tanggal 13 September dan akhir Oktober 2021 memberikan temuan baru yang memungkinkan penilaian operasi keamanan berdasarkan kriteria hukum kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma. Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa serangan udara maupun darat dilakukan secara meluas dan sistematis, serta menargetkan penduduk sipil asli di Kiwirok (Pasal 7(1)). Pasukan keamanan tambahan dikerahkan untuk melakukan penggerebekan di delapan desa di Kiwirok, mengikuti pola yang sama dan menggunakan peralatan militer yang canggih. Dalam kasus Kiwirok, Pemantau HAM menemukan bukti-bukti yang mendukung pemusnahan (Statuta Roma, Pasal 7(2)(b)), dan deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa (Statuta Roma, Pasal 7(2)(d)).
Meskipun penggerebekan tersebut tidak menyebabkan kematian warga sipil secara langsung, masyarakat terpaksa mengungsi ke hutan dan tinggal di tempat penampungan tanpa akses terhadap makanan dan obat-obatan yang memadai, di mana mereka rentan terhadap hipotermia, malnutrisi, dan penyakit. Hingga tanggal 23 Juli 2023, setidaknya 72 pengungsi dari Kiwirok dilaporkan telah meninggal dunia sejak pengungsian mereka. Situasi kehidupan di tempat penampungan pengungsi, isolasi dari segala bentuk bantuan pemerintah, dan kurangnya kemungkinan untuk kembali ke rumah mereka merupakan kondisi yang memenuhi definisi Pasal 7(2)(b) Statuta Roma tentang Pemusnahan. Pola serangan-serangan tersebut konsisten dengan deskripsi pemindahan paksa melalui tindakan-tindakan pemaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7(2)(d).
Meskipun Indonesia belum bersedia meratifikasi Statuta Roma, definisi yang ada di dalamnya merupakan norma hukum yang diakui secara internasional. Penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM RI) atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan perlu dilakukan. Komnas HAM RI dimandatkan oleh hukum Indonesia untuk mengungkap struktur komando, menentukan siapa yang mengesahkan serangan tersebut, dan pasukan aparat keamanan apa yang yang terlibat dalam oparasi keamanan di Kiwirok antara tanggal 13 September dan akhir Oktober 2021.