Laporan Tahunan Tanah Papua 2022 – Hak Asasi Manusia dan Situasi Konflik

Situasi hak asasi manusia

Seperti tahun-tahun sebelumnya, konflik bersenjata yang sedang berlangsung di Tanah Papua menyebabkan kekerasan yang terus berlanjut, terutama di daerah konflik. Pada tahun 2022, para pembela hak asasi manusia Papua terus melaporkan kasus-kasus penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa. Banyak kasus secara langsung berkaitan dengan konflik bersenjata. Praktik impunitas yang tetap berlangsung di antara anggota polisi dan militer memperparah pola pelanggaran ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kasus-kasus pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan jarang diproses. Kesadaran publik dan kesadaran media tampaknya berpengaruh positif dalam menuntut pertanggungjawaban pelaku dari pihak kepolisian dan militer. Namun, para pelaku biasanya dituntut melalui mekanisme internal dalam institusi mereka. Mekanisme tersebut sering kurang transparan dan tidak independen.

Amandemen undang-undang otonomi khusus Papua oleh Jakarta dan rencana pembentukan provinsi baru di Tanah Papua pada tahun 2021 mempengaruhi lanskap hak asasi manusia di Tanah Papua pada paruh pertama tahun 2022. Pada Juli 2021, pemerintah pusat secara sepihak mengamandemen Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan pemerintah provinsi. Pengesahan undang-undang untuk membentuk provinsi baru menyusul pada bulan April 2022. Tindakan politik Jakarta ini menambah panjang sejarah kekecewaan politik, rasisme, dan pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.

Tindakan Jakarta tersebut menimbulkan respon masyarakat sipil yang kuat di seluruh Tanah Papua, terutama melalui demonstrasi damai dan mimbar bebas. Polisi dengan paksa membubarkan berbagai aksi protes dan menangkap para demonstran secara sewenang-wenang. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah pelanggaran kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai, kebebasan berekspresi dan berpendapat, penangkapan sewenang-wenang, dan kasus-kasus penyiksaan, terutama selama paruh pertama tahun 2022. Pada umumnya, polisi menggunakan pasal-pasal yang kabur, seperti Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang makar untuk mengkriminalisasi para aktivis yang mengadvokasi hak untuk menentukan nasib sendiri dengan cara-cara damai.

Statistik hak asasi manusia di Tanah Papua antara 1 Januari dan 31 Desember 2022, pembaruan lebih lanjut mungkin dilakukan (sumber: HRM)

Peningkatan jumlah pelanggaran HAM di Papua biasa terjadi pada Akhir tahua karena adanya peringatan 1 Desember. Bendera Bintang Kejora secara resmi dikibarkan untuk pertama kalinya pada tanggal1 Desember 1961, dan banyak orang Papua menganggap dan memperingati hari itu sebagai “Hari Kemerdekaan” mereka. Setiap tahun aparat keamanan membubarkan demonstrasi damai dan orasi untuk memperingati peristiwa bersejarah tersebut. Hal yang sama terjadi pada tahun 2022. Namun, peningkatan terbesar dalam pelanggaran kebebasan berkumpul, berekspresi, dan penahanan sewenang-wenang disebabkan oleh intervensi polisi sebelum dan selama perayaan Hari Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember. HRM telah menerima informasi tentang 110 penangkapan sewenang-wenang di empat lokasi antara 8 dan 10 Desember 2023.

Konflik bersenjata dan pengungsian internal

Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan. Saksi mata serangan udara di Distrik Kiwirok oleh pasukan Indonesia pada 16 September 2021 menunjukkan persenjataan yang ditemukan setelah serangan tersebut. Berbagai desa diserang dari udara oleh pasukan Indonesia yang menghancurkan dan merusak banyak rumah dan bangunan umum termasuk gedung gereja. Orang-orang dari desa tersebut melarikan diri ke hutan-hutan di sekitarnya. Menurut saksi mata dari desa yang masih tinggal di kamp pengungsiuan di hutan, empat helikopter beroperasi selama serangan, dua untuk bertahan hidup dan dua lagi dipersenjatai dengan bahan peledak. Helikopter dan mortir juga digunakan selama serangan tersebut. Peluru mortir 81mm yang tidak meledak ditemukan oleh penduduk desa. Pasukan Indonesia mengambil posisi di dekatnya dan terus menyerang dan mengintimidasi desa. Menurut saksi mata, tiga orang yang kembali ke desa telah ditembak mati oleh penembak jitu Indonesia dari Kiwirok sejak serangan pada September 2021. Penduduk desa masih takut. Mereka menolak untuk kembali ke desa dan terus bertahan hidup di hutan. Kunjungan oleh pemantau hak asasi manusia, ICRC, dan kelompok-kelompok kemanusiaan dilarang oleh pemerintah Indonesia.

Statistik kekerasan bersenjata dan serangkaian serangan baru-baru ini menunjukkan bahwa konflik di Papua Barat mencapai tingkat eskalasi baru sepanjang tahun 2022. Pada awal tahun 2022, pemerintah Indonesia mengubah kebijakannya terhadap konflik di TanahPapua menjadi pendekatan yang lebih lunak, dengan melibatkan militer dan polisi dalam program-program pembangunan. Menurut pendekatan tersebut, militer dan polisi akan terlibat dalam penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan serta program pertanian. Operasi di seluruh Papua Barat ini diberi nama “Operasi Damai Cartenz”. Pemerintah pusat berharap agar aparat keamanan mendapatkan kembali kepercayaan dari penduduk asli Papua dengan membangun hubungan persahabatan dengan masyarakat adat setempat. Pada saat yang sama, pemerintah bertekad untuk meningkatkan kehadiran pasukan keamanan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Papua Barat.

Kekerasan bersenjata di Tanah Papua20182019202020212022
Jumlah serangan bersenjata4433649270
Jumlah korban jiwa di antara pasukan keamanan818111817
Jumlah petugas keamanan yang terluka1512103422
Jumlah korban di antara pejuang TPN-PB121414248
Jumlah pejuang TPN-PB yang terluka40180
Jumlah total korban jiwa di antara warga sipil selama bentrokan atau penyerbuan bersenjata4220272843
Jumlah warga sipil yang dibunuh oleh anggota pasukan keamanan171320125
Jumlah warga sipil yang dibunuh oleh pejuang TPN-PB25771438
Jumlah warga sipil yang terbunuh (pelaku tidak jelas)00020
Jumlah total warga sipil yang terluka159262021
Jumlah warga sipil yang dilukai oleh anggota pasukan keamanan791072
Jumlah warga sipil yang dilukai oleh pejuang TPN-PB8016139
Statistik konflik bersenjata di Papua Barat antara tahun 2017 dan 31.12.2022 (Sumber: HRM)

Pengerahan pasukan keamanan, bahkan di bawah pendekatan keamanan yang baru, diprediksi akan membawa tingkat ketegangan baru ke dalam konflik. Hal ini tidak hanya meningkatkan potensi bentrokan bersenjata di dekat pemukiman warga sipil, tetapi juga akan membatasi akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan bagi banyak masyarakat adat Papua. Banyak penduduk asli Papua yang takut dengan militer dan polisi Indonesia, yang bertanggung jawab atas kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia sejak integrasi Tanah Papua oleh Indonesia pada tahun 1969.

Sepanjang tahun 2022, tidak ada tanda-tanda peendekatan antara pemerintah Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). TPNPB telah berulang kali menyatakan keterbukaannya untuk melakukan pembicaraan dengan Jakarta di bawah mediasi pihak netral. Namun, Jakarta tidak mendukung perundingan damai dalam format ini, baik dengan TPNPB maupun dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Menurut Siaran Pers ULMWP tanggal 14 November 2022, terjadi pertemuan antara ULMWP, MRP, Dewan Gereja Papua Barat, dan Komnas HAM yang berlangsung antara bulan Juni dan November 2022 dengan tujuan untuk pemulihan hubungan. Pertemuan ketiga di Jenewa menghasilkan nota kesepahaman antara pihak-pihak tersebut untuk gencatan senjata sementara untuk memungkinkan akses kemanusiaan ke satu wilayah di Tanah Papua. Juru Bicara TPNPB kemudian menjelaskan bahwa TPNPB tidak menjadi bagian dari kesepakatan tersebut. Hingga Februari 2023, gencatan senjata tersebut belum dilaksanakan.

Informasi mengenai kekerasan bersenjata menunjukkan bahwa konflik berubah menjadi lebih keras pada tahun 2022. Baik anggota pasukan keamanan Indonesia maupun TPNPB, berulang kali melancarkan serangan terhadap warga sipil. Para pejuang TPNPB tkeah membakar berbagai fasilitas umum dan menyerang para warga non-Papua yang sering dituduh bekerja untuk militer. Sedangkan, aparat keamanan sering kali mengarahkan serangan udara dan darat ke pemukiman penduduk asli Papua. Konflik bersenjata telah mencapai Provinsi Papua Barat, dengan serangan bersenjata yang dilaporkan dari Kabupaten Maybrat dan Teluk Bintuni.

Meskipun jumlah serangan pada tahun 2022 tidak menunjukkan peningkatan substansial dalam bentrokan bersenjata dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun eskalasi konflik tercermin dari jumlah warga sipil yang dibunuh. Pada tahun 2020 dan 2021, jumlah korban tewas di kalangan warga sipil selama bentrokan bersenjata atau penyerbuan masing-masing adalah 27 dan 28 warga sipil. Pada tahun 2022, jumlah warga sipil yang terbunuh adalah 43 orang. Lima orang yang dibunuh oleh anggota aparat keamanan merupakan jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan 38 warga sipil yang dibunuh oleh TPNPB (lihat tabel di atas dan grafik di bawah).

Tidak adanya titik temu untuk dialog perdamaian telah memicu konflik. TPNPB memiliki tekad yang kuat untuk memperjuangkan kemerdekaan politik dan mencegah perluasan struktur pasukan keamanan di Tanah Papua. Peningkatan jumlah korban yang dibunuh oleh anggota TPNPB mengindikasikan bahwa serangan TPNPB telah mencapai tingkat kekerasan yang baru. Organisasi ini telah berulang kali mengeluarkan peringatan, menyerukan kepada warga non-Papua untuk meninggalkan wilayah konflik karena tidak ada lagi jaminan keamanan bagi mereka.

NoKabupatenPengungsiyang mengungsi sejakInformasi tambahan
1Nduga46,000[1]02 Des 18lebih dari 615 pengungsi dilaporkan meninggal sejak mengungsi
2Puncak2,724[2]27 April 21setidaknya 16 pengungsi dilaporkan meninggal dunia selama pengungsian
3Intan Jaya5,859[3]26 Oktober 21sedikitnya 126 pengungsi menghadapi masalah kesehatan, dan 11 pengungsi dilaporkan meninggal dunia
4Maybrat1,836[4]02 Sept 21Pengungsi berasal dari 5 kabupaten, 40 pengungsi dilaporkan meninggal, Pemerintah setempat dilaporkan memfasilitasi pemulangan 353 pengungsi dari sembilan desa pada November 2022[5]
5Pegunungan Bintang (Kiwirok)2,252[6]10 Oktober 21sekitar 200 IDP mengungsi ke PNG, 50 IDP dilaporkan meninggal, sedikitnya 39 IDP menderita sakit
6Yahukimo (Suru-Suru)1,971[7]20 November 21Pengungsi dari 13 desa mencari perlindungan di 15 kamp sementara, 16 perempuan melahirkan tanpa pertolongan medis, dan 13 pengungsi dilaporkan meninggal
T O T A L60,642
Statistik Pengungsian terkait konflik bersenjata di Tanah Papua per bulan November 2022 (sumber: MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)

[1] Komisi Penyelidikan dan Penyelesaian Sengketa Papua (22.11.2021): Laporan Pelanggaran HAM dan Operasi MIliter di Tanah Papua

[2] Jubi (9.11.2021): SORAKPATOK: 300 tewas dan 50 ribu warga Papua mengungsi, tersedia di: https://jubi.co.id/sorakpatok-300-tewas-dan-50-ribu-warga-papua-mengungsi/

[3] CNN Indonesia (30.10.2021): Ribuan Warga Papua Mengungsi Usai Pecah Kontak Senjata, tersedia di: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211030195433-12-714496/ribuan-warga-papua-mengungsi-usai-pecah-kontak-senjata

[4] Jumlah tersebut dikumpulkan oleh pekerja gereja lokal dan mewakili jumlah pengungsi pada awal Desember 2022.

[5] Jubi (12.11.2022): Pemkab Maybrat pulangkan 353 pengungsi Kisor, tersedia di https://jubi.id/tanah-papua/2022/pemkab-maybrat-pulangkan-353-pengungsi-kisor/

[6] Jumlah tersebut dikumpulkan dari beberapa daftar nama pengungsi yang dikumpulkan oleh para pembela HAM setempat di Pegunugan Bintang pada April 2022

[7] Jumlah tersebut berdasarkan data yang dikumpulkan oleh pekerja gereja setempat. Informasi tersebut diterima pada Februari 2022

Ribuan orang asli Papua dari Kabupaten Nduga, Puncak, Intan Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang dan Yahukimo telah mengungsi akibat penggerebekan aparat keamanan. Beberapa di antaranya telah mengungsi sejak Desember 2018. Pada tahun 2022, pemerintah Indonesia masih terus mengabaikan keberadaan pengungsi internal di Tanah Papua. Data yang dikumpulkan oleh kelompok solidaritas, gereja, dan media independen menunjukkan adanya 60.642 pengungsi (lihat tabel di atas).

Tidak ada program atau strategi kemanusiaan yang menjamin standar minimum terkait ketersediaan, aksesibilitas, dan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan bagi para pengungsi. Akibatnya, angka kematian di antara para pengungsi terus meningkat, terutama di kalangan bayi, anak-anak, lansia, dan ibu hamil. Lembaga-lembaga pemerintah telah gagal mengumpulkan data mengenai jumlah dan posisi para pengungsi yang tersebar di seluruh Tanah Papua.

Beberapa pengungsi telah menerima bantuan sesekali, terutama dari pemerintah daerah. Sebagian besar dari mereka belum tersentuh oleh bantuan pemerintah. Oleh karena itu, banyak pengungsi yang hidup tanpa akses pendidikan dan kesehatan di tempat penampungan di hutan dengan kondisi higienis yang buruk. Para pengungsi dari Maybrat bersaksi bahwa pemerintah daerah telah mendistribusikan beras dan bahan makanan lainnya kepada para pengungsi. Namun, dana yang digunakan untuk bantuan tersebut dipotong dari dana yang diterima pemerintah desa secara rutin.

Pada 14 November 2022, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menerbitkan sebuah siaran pers keberhasilan jeda kemanusiaan bersama di beberapa wilayah tertentu di Papua. Salah satu tujuan dari jeda kemanusiaan yang disepakati adalah untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat adat Papua yang mengungsi di satu wilayah tertentu. Tujuan kedua adalah untuk memastikan pemenuhan hak asasi manusia bagi para tahanan politik di Papua. Wilayah spesifik yang akan menerima bantuan kemanusiaan tidak disebutkan dalam siaran pers tersebut, namun komunikasi selanjutnya merujuk pada Kabupaten Maybrat.

Pada pertengahan Februari 2023, kesepakatan yang disebut sebagai Jeda Kemanusiaan Bersama (JKB), tertanggal 11 November 2022, yang ditandatangani oleh Komnas HAM bersama perwakilan Papua dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP), akan segera berakhir tanpa diimplementasikan. ULMWP mengkritik pemerintah Indonesia, termasuk lembaga-lembaga pemerintah terkait, atas kurangnya komitmen mereka terhadap perjanjian tersebut. “Alasan sebenarnya mengapa JKB belum diimplementasikan adalah kurangnya keseriusan dan kesungguhan dari Pemerintah Indonesia, yang terlihat dari tidak adanya implementasi atau tindak lanjut dari komitmen mereka di bawah perjanjian tersebut”.

Dalam siaran persnya, ULMWP menyatakan kekecewaannya bahwa “sayangnya, Komnas HAM dan lembaga-lembaga terkait tidak menunjukkan komitmen terhadap perjanjian tersebut”. Di sisi lain, Komnas HAM telah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada ULMWP, Dewan Gereja Papua Barat (WPCC) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menjelaskan bahwa “berdasarkan dokumen yang diterima, Komnas HAM periode 2022-2027 secara internal telah melakukan penelusuran terhadap proses pengambilan keputusan MoU Jeda Kemanusiaan dan menemukan bahwa keputusan tersebut bukanlah keputusan resmi Komnas HAM, karena diputuskan di luar keputusan Sidang Paripurna Komnas HAM periode 2017-2022.” Disebutkan juga bahwa “Komnas HAM bukan merupakan pihak yang terlibat dalam konflik di Papua. Oleh karena itu, tidak tepat jika Komnas HAM menandatangani MoU Jeda Kemanusiaan sebagai salah satu pihak”.

Laporan Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) PBB

Pada 9 November 2022, Indonesia menyampaikan laporan pemantauan berkala pemajuan HAM dalam sidang UPR Dewan HAM PBB di Jenewa. Dalam sidang UPR siklus ke-4 ini, pemerintah Indonesia melaporkan capaian-capaiannya di bidang hak asasi manusia (HAM), antara lain pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS), pembangunan infrastruktur dan peningkatan anggaran untuk otonomi daerah di Papua, serta keberhasilan penanganan COVID-19. Laporan Indonesia secara umum dikritik. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelaporan UPR menilai bahwa apa yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya di Indonesia. Dalam tinjauan ini, tujuh negara mengangkat isu Tanah Papua secara eksplisit, sementara sembilan negara mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan Tanah Papua tanpa secara eksplisit merujuknya.

Pengadilan HAM untuk kasus Paniai tahun 2014

Pada 3 Desember 2021, Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan perintah resmi untuk membentuk tim yang terdiri dari 22 jaksa di bawah pimpinan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat di Kabupaten Paniai. Pada tanggal 1 April 2022, Kejagung hanya menetapkan satu orang sebagai tersangka. Hal ini sangat bertentangan dengan temuan investigasi yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan juga kesaksian para korban. Persidangan pengadilan HAM terhadap terdakwa tunggal, mantan komandan militer Mayor Isak Sattu, digelar di Pengadilan Negeri Makassar pada 21 September 2022. Setelah proses persidangan yang panjang dan kontroversial, terdakwa dinyatakan tidak bersalah. Dalam putusan tanggal 8 Desember 2022, terdapat perbedaan pendapat antara dua dari lima hakim yang mengadili kasus ini. Dua hakim yang berbeda pendapat melihat adanya tanggung jawab komando. Putusan dalam kasus menganggap pembunuhan yang dilakukan oleh anggota militer terhadap warga sipil di Paniai sebagai serangan sistematis, sebagai unsul untuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Kasus ini perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut.

Rekomendasi kepada otoritas Indonesia:

  1. Memastikan akses penuh terhadap pengamat independen, khususnya Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, dalam rangka mengurangi kekerasan dan mendorong akuntabilitas di Tanah Papua;
  2. Melibatkan diri dalam dialog dengan semua pihak yang berkonflik termasuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menyelesaikan konflik politik dan sejarah secara damai;
  3. Mengizinkan akses kemanusiaan untuk organisasi bantuan seperti Komisi Internasional Palang Merah (ICRC) ke Tanah Papua dan menahan diri dari keterlibatan militer Indonesia dalam misi kemanusiaan;
  4. Menghentikan pengerahan pasukan dan perluasan infrastruktur militer di seluruh provinsi di Tanah Papua; Menarik semua pasukan polisi dan militer non-organik yang dikerahkan di Tanah Papua; Memfasilitasi dan menjamin kembalinya para pengungsi ke desa mereka secara aman dan sukarela;
  5. Memastikan Kejaksaan Agung mejalankan ulang investigasi yang tidak memihak, sistematis dan efisien dalam kasus Paniai agar semua pelaku dalam struktur komando yang terlibat di lapangan maupun atasannya terunkap dan diproses hukum.