EUDR dan Tanah Papua: Apakah Undang-Undang Anti-Deforestasi Eropa Akan  Memberikan Perubahan Nyata?

Pada tahun 2020, Komisi Eropa meluncurkan Kesepakatan Hijau Eropa, sebuah kerangka kerja kebijakan ambisius yang menargetkan netralitas iklim di seluruh Uni Eropa (UE) pada tahun 2050. Inti dari inisiatif ini adalah Peraturan Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR), sebuah kebijakan yang dirancang untuk memastikan bahwa produk-produk yang memasuki pasar Uni Eropa bebas dari deforestasi. EUDR mewajibkan perusahaan untuk melakukan uji tuntas yang ketat untuk memverifikasi bahwa rantai pasok mereka bebas dari deforestasi, degradasi hutan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang terkait. Namun, meskipun peraturan ini merupakan langkah maju yang signifikan, peraturan ini memiliki keterbatasan. Ruang lingkup EUDR terbatas pada deforestasi yang terjadi setelah tahun 2020, mengikuti definisi hutan yang sempit dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) (tidak termasuk ekosistem kritis seperti lahan basah dan hutan bakau), dan hanya berlaku untuk tujuh komoditas utama: sapi, kayu, kakao, kedelai, kelapa sawit, kopi, dan karet. Namun demikian, EUDR memiliki implikasi yang besar bagi Tanah Papua dan Indonesia, di mana ekspansi agribisnis dan investasi terkait telah dikaitkan dengan perusakan lingkungan yang meluas dan pelanggaran hak asasi manusia.

Penundaan dan Pengenceran: EUDR di Bawah

Ketika EUDR secara resmi diadopsi pada bulan Juni 2023, implementasinya dijadwalkan untuk dimulai pada 30 Desember 2024. Namun, lobi yang intens dari negara-negara produsen termasuk Indonesia, kelompok industri, dan beberapa negara anggota Uni Eropa membuat Komisi Eropa mengusulkan penundaan selama 12 bulan. Usulan ini memicu perdebatan panas di Parlemen Eropa, di mana Partai Rakyat Eropa (EPP) dan fraksi-fraksi sayap kanan berusaha untuk melemahkan peraturan tersebut melalui serangkaian amandemen. Pada minggu-minggu menjelang pemungutan suara, Kedutaan Besar Republik Indonesia melakukan pertemuan dengan beberapa anggota parlemen sayap kanan. Penundaan selama 12 bulan tersebut disetujui melalui pengesahan peraturan yang telah diamandemen pada bulan Desember 2024, sehingga memberikan waktu tambahan bagi pemerintah Indonesia dan penentang lainnya untuk melemahkan efektivitas peraturan tersebut dan mencari pasar alternatif dengan kontrol lingkungan yang tidak terlalu ketat. Berdasarkan status resolusi saat ini, peraturan deforestasi Eropa akan mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2025.

Klasifikasi Risiko dan Masalah Hak Asasi Manusia

Fitur utama dari EUDR adalah klasifikasi negara-negara ke dalam kategori berisiko rendah, standar, atau tinggi, yang akan menentukan tingkat pengawasan yang diterapkan pada ekspor mereka. Namun, LSM-LSM Eropa telah menyuarakan kekhawatiran bahwa Komisi Eropa mungkin gagal memperhitungkan pelanggaran hak asasi manusia dan kegiatan ilegal secara memadai dalam penilaian risikonya. Kelalaian ini dapat melemahkan kemampuan peraturan tersebut untuk mengatasi akar permasalahan deforestasi dan degradasi hutan, terutama di wilayah seperti Tanah Papua, di mana perusakan lingkungan sering kali terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang sistemik.

Hutan di Tanah Papua: Aset Iklim Global Yang Terancam

Pemerintah Indonesia secara konsisten membingkai konflik di Tanah Papua sebagai masalah ekonomi, dengan mengklaim bahwa peningkatan investasi di bidang ekstraksi sumber daya alam dan agribisnis akan menyelesaikan krisis. Namun, investasi-investasi tersebut sering kali memicu degradasi lingkungan, konflik sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia, sehingga memperparah masalah yang  dapat diatasi.

Hutan Papua tidak hanya penting bagi mata pencaharian, budaya, dan kelangsungan hidup masyarakat adat, tetapi juga memainkan peran penting dalam mengurangi krisis iklim global. Pulau Nugini merupakan rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, pusat keanekaragaman hayati yang menyimpan lebih banyak karbon per hektarnya dibandingkan dengan Amazon atau Lembah Kongo. Hutan-hutan ini juga merupakan bagian integral dari Segitiga Terumbu Karang, sebuah wilayah laut yang mendukung lebih dari 75% spesies karang yang dikenal di dunia dan diakui sebagai prioritas konservasi global. Namun, hutan Papua berada di bawah ancaman yang semakin meningkat dari deforestasi dan degradasi yang disebabkan oleh ekspansi kelapa sawit, penebangan hutan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya menghancurkan ekosistem lokal tetapi juga melepaskan sejumlah besar karbon yang tersimpan, sehingga  krisis iklim.

Tren Deforestasi di Tanah Papua: Krisis Yang Terus Berkembang

Selama dua dekade terakhir di bawah pemerintahan Indonesia, Tanah Papua telah kehilangan lebih dari 800.000 hektar hutan. Sementara tingkat deforestasi di seluruh Indonesia mulai menurun pada tahun 2015, hal yang sebaliknya terjadi di Tanah Papua, terutama di bawah pemerintahan Jokowi. Menurut Greenpeace, 40% dari deforestasi terkait kelapa sawit di Indonesia sejak tahun 2015 terjadi di Tanah Papua, dan PUSAKA menemukan bahwa tingkat deforestasi pada tahun 2010-2019 lebih dari dua kali lipat dari dekade sebelumnya. Selain itu, 1,9 juta hektar hutan di Tanah Papua telah dialokasikan sebagai konsesi untuk kelapa sawit dan kayu, yang menandakan adanya potensi kerusakan lebih lanjut.

Pemerintahan Prabowo: Era Baru Berrisiko Bagi Lingkungan Hidup

Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, telah menyatakan bahwa Indonesia akan mempercepat penurunan luas hutan Papua Barat di bawah pemerintahannya. Dalam salah satu tindakan pertamanya sebagai presiden, Prabowo melakukan perjalanan ke Merauke untuk mempromosikan Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pangan dan Energi Merauke, yang bertujuan untuk mengkonversi 2 juta hektar hutan adat menjadi sawah dan perkebunan tebu. Proyek ini telah ditolak oleh masyarakat adat Malind dan Yei yang memiliki hutan-hutan tersebut, dan protes mereka telah ditanggapi dengan ancaman dan intimidasi oleh militer Indonesia. Prabowo juga menepis kekhawatiran lingkungan mengenai ekspansi kelapa sawit dengan klaim yang tidak masuk akal bahwa perkebunan tidak menyebabkan deforestasi karena pohon kelapa sawit memiliki daun.

EUDR merupakan peluang penting untuk menghentikan deforestasi dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua dan sekitarnya. Namun, efektivitasnya akan bergantung pada kesediaan Uni Eropa untuk menolak tekanan dari industri dan negara-negara produsen, menegakkan persyaratan uji tuntas yang kuat, dan memprioritaskan hak asasi manusia dalam penilaian risikonya. Pada tahun 2024, Pengadilan Rakyat Permanen (Permanent Peoples Tribunal) menemukan bahwa pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan swasta “gagal memenuhi kewajiban hukum dan etika secara memadai terhadap masyarakat adat di Tanah Papua dan lingkungan mereka sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan peraturan nasional serta kewajiban perjanjian internasional,” dengan degradasi ekologis yang secara intrinsik terkait dengan upaya untuk melenyapkan masyarakat adat di Tanah Papua. Jika EUDR ingin memiliki kredibilitas, EUDR harus mengklasifikasikan situasi ini sebagai ‘berisiko tinggi’ dalam proses pembandingan dan memantau secara ketat pelaksanaan peraturan tersebut oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia.