Dokumen setebal 12 halaman ini menguraikan kasus-kasus dan perkembangan yang terjadi, termasuk pelanggaran hak asasi manusia dan polanya, eskalasi konflik bersenjata dan dampaknya terhadap warga sipil, pergeseran politik yang signifikan di Indonesia yang berdampak pada Tanah Papua, serta tanggapan dan inisiatif internasional. Laporan ini mencakup periode 1 Juli hingga 30 September 2025.
Ringkasan
Hak Asasi Manusia
Situasi hak asasi manusia di Tanah Papua antara Juli dan September 2025 dibayangi oleh peningkatan pengerahan dan operasi militer yang mencolok di wilayah dataran tinggi Tanah Papua sejak Agustus 2025. Kehadiran personel militer yang meluas dengan cepat, bahkan di kabupaten-kabupaten terpencil di dataran tinggi tengah, telah menyebabkan pengungsian internal lebih lanjut dan mempercepat eskalasi konflik bersenjata antara pasukan keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Statistik hak asasi manusia tidak menunjukkan adanya perbaikan atau kemerosotan yang signifikan dari situasi hak asasi manusia selama periode pelaporan. Namun, dokumentasi yang terus berlanjut tentang pelanggaran seperti pembunuhan, penyiksaan, penganiayaan, penahanan sewenang-wenang, dan pelanggaran kebebasan berkumpul secara damai menunjukkan bahwa pemerintah terus mengejar pendekatan konflik berbasis keamanan di Tanah Papua.
Ketegangan politik telah meningkat, dengan aparat keamanan menindak tegas para pengunjuk rasa dan menahan para aktivis secara sewenang-wenang. Di Sorong, provinsi Papua Barat Daya, polisi menangkap lebih dari belasan orang pada Agustus 2025 karena partisipasi mereka dalam protes menentang pemindahan empat tahanan politik. Aparat keamanan menindak tegas aksi protes tersebut, dengan seorang pengamat ditembak. Kurangnya kemampuan aparat keamanan di Tanah Papua untuk menangani situasi konflik tanpa menggunakan kekuatan yang berlebihan telah berulang kali menyebabkan kasus-kasus di mana insiden kecil meningkat menjadi kerusuhan dengan kerusakan yang luas dan korban sipil. Pada tanggal 27 September 2025, anggota Satuan Tugas (Satgas) TNI 123/Rajawali menembaki warga sipil di kota Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan, menewaskan satu orang dan melukai empat orang lainnya dengan peluru. Insiden ini terjadi ketika anggota TNI sedang menangani laporan tentang keributan yang melibatkan seorang pria yang sedang mabuk.
Kerusuhan di Kabupaten Yalimo, Provinsi Papua Pegunungan, sebagai tanggapan atas konflik yang meningkat antara mahasiswa Papua dan non-Papua pada 16 September, dan pecahnya kekerasan horizontal antara warga Papua dan non-Papua di Kabupaten Deiyai pada 18 Agustus 2025, menggambarkan ketegangan sosial horizontal yang terus meningkat. Ketidakadilan sosial ini dipicu oleh diskriminasi rasial dan marjinalisasi penduduk asli Papua, yang gagal ditangani oleh pemerintah selama beberapa dekade terakhir. Pola diskriminasi rasial juga terlihat jelas dalam kampanye intimidasi yang meningkat terhadap mahasiswa Papua di seluruh Indonesia antara bulan April dan Juli 2025.
Meluasnya impunitas di kalangan aparat keamanan merupakan pendorong utama pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua. Hanya ada beberapa contoh di mana mekanisme investigasi dan penuntutan internal telah berhasil. Pada tanggal 3 Juli 2025, Pengadilan Militer III-19 Jayapura memutuskan bahwa Prajurit TNI Angkatan Laut Agung Suyono bersalah atas pembunuhan terhadap Nyonya Kesya Irene Yola Lestaluhu di Pantai Saoka, Sorong, pada tanggal 12 Januari 2025. Berbeda dengan kasus ini, sebagian besar pelanggaran HAM yang melibatkan polisi atau militer hanya mendapatkan vonis ringan atau terjebak dalam ketidakpastian hukum. Tidak ada kemajuan yang dibuat dalam penangkapan tersangka dalam serangan bom molotov terhadap outlet media Papua Jubi setelah satu tahun penyelidikan, meskipun ada rekaman CCTV dan kesaksian saksi. Demikian juga, Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) kantor cabang Sorong menyatakan keprihatinannya terkait proses hukum atas tuduhan penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Resor Kota Sorong terhadap warga sipil Papua, Bapak Ortizan F. Tarage pada tanggal 15 Mei 2025. Meskipun telah dilaporkan secara resmi kepada pihak kepolisian, kasus ini masih mandek hingga September 2025, tanpa adanya tersangka yang ditetapkan dan tidak ada perkembangan investigasi yang transparan.
Krisis kesehatan yang semakin parah di Tanah Papua menjadi sorotan setelah terungkapnya dugaan korupsi sebesar Rp10 miliar di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nabire dan serangkaian kematian yang dilaporkan disebabkan oleh malapraktik medis dan penelantaran di RSUD Yowari, Sentani, RSUD Serui, dan RSUD Maybrat. Laporan-laporan tersebut mengangkat masalah hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak atas kesehatan, akuntabilitas, dan akses yang sama terhadap layanan publik di provinsi-provinsi paling timur Indonesia.
Analisis data satelit dan alat pemetaan interaktif yang baru telah mengungkapkan skala deforestasi dan perusakan ekosistem yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh Tanah Papua, dengan Proyek Strategis Nasional yang menyebabkan 24% kehilangan hutan pada tahun 2024. Sebuah studi baru yang diterbitkan oleh Nusantara Atlas memberikan analisis rinci tentang tren pembukaan lahan di seluruh Tanah Papua, yang mengungkapkan percepatan kerusakan lingkungan yang mengkhawatirkan yang didorong oleh mega proyek pemerintah dan kepentingan perusahaan, terutama di daerah Merauke.
Sebuah film dokumenter dari Gecko Project mengungkapkan dampak buruk dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia di Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang memperlihatkan bagaimana ekspansi pertanian skala besar dengan kedok ketahanan pangan nasional mengakibatkan pelanggaran sistematis terhadap hak-hak masyarakat adat dan degradasi lingkungan. Proyek ini bertujuan untuk mengubah setidaknya 1,6 juta hektar wilayah adat Malind menjadi perkebunan padi dan tebu, yang diamankan dan dilaksanakan oleh militer. Pada tanggal 19 Agustus 2025, organisasi masyarakat sipil dan korban PSN mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi Indonesia untuk menentang ketentuan-ketentuan penting dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023) yang melegitimasi fasilitasi dan percepatan proyek-proyek PSN yang mengorbankan hak-hak konstitusional dan perlindungan lingkungan.
Konflik
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan pada tanggal 20 Agustus 2025 pembentukan 500 batalyon baru sebagai bagian dari ekspansi militer masa damai terbesar dalam beberapa dekade terakhir. Ini adalah berita yang mengejutkan bagi lebih dari 103.218 orang di Tanah Papua yang masih mengungsi akibat konflik bersenjata antara pasukan keamanan Indonesia dan TPNPB per Oktober 2025. Pada bulan Agustus 2025, jumlah total pengungsi di Tanah Papua telah melampaui 100.000 orang. HRM mendokumentasikan 29 serangan dan bentrokan bersenjata sepanjang kuartal ketiga 2025, jumlah yang jauh lebih rendah dibandingkan pada kuartal kedua 2025, ketika 47 insiden serupa didokumentasikan. Namun, jumlah total bentrokan tahunan pada tahun 2025 akan kembali lebih tinggi daripada tahun 2024, dengan 135 serangan bersenjata, yang mengindikasikan memburuknya kekerasan bersenjata di Tanah Papua. Hal ini juga tercermin dari jumlah pengungsi yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya operasi militer Indonesia di Kabupaten Puncak, Puncak Jaya, Paniai, dan Pegunungan Bintang antara Juli dan September 2025, dengan pengerahan pasukan tambahan di Lanny Jaya, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang. Militer terus memperluas infrastruktur militernya hingga ke tingkat distrik di wilayah konflik dan sekitarnya.
Operasi militer di berbagai lokasi disertai dengan penghancuran rumah-rumah penduduk dan penembakan warga sipil. Pada tanggal 6 Juli 2025, seorang warga dilaporkan dieksekusi oleh anggota pasukan keamanan di Kampung Gilini, Kabupaten Puncak, dalam sebuah operasi militer di Distrik Omukia. Anggota TNI dilaporkan menyerbu Kampung Oholumu, Distrik Mewoluk, Kabupaten Puncak Jaya, pada 7 Agustus 2025, yang mengakibatkan pembakaran rumah-rumah warga sipil, perusakan fasilitas gereja, dan penembakan terhadap tiga warga sipil. Pada 10 Agustus 2025, pasukan keamanan Indonesia menembaki sekelompok masyarakat adat Papua, yang sebagian besar adalah anak-anak, menewaskan satu anak di bawah umur dan menyebabkan dua anak di bawah umur lainnya terluka.
Mayoritas permusuhan bersenjata terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo, dan Puncak, dengan beberapa bentrokan bersenjata di Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Dogiyai, Lanny Jaya, Mimika, Nabire, dan Deiyai. HRM menghitung sembilan warga sipil dibunuh oleh anggota TPNPB. Sementara itu, dua warga sipil dibunuh dan tujuh lainnya terluka oleh anggota pasukan keamanan selama bentrokan bersenjata atau operasi keamanan. Dari pihak kombatan, enam anggota pasukan keamanan tewas dan lima lainnya terluka selama periode ini. Sebaliknya, TPNPB dilaporkan kehilangan delapan kombatan, dengan lima gerilyawan terluka selama bentrokan bersenjata. Pihak berwenang Australia menangkap dua pria Australia pada pertengahan September 2025. Mereka didakwa dengan tuduhan memperdagangkan senjata dan amunisi kepada TPNPB.
Pada tanggal 17 Juli 2025, anggota pasukan keamanan Indonesia, termasuk Kepala Polisi Beoga dan personil militer Indonesia, terekam dalam video sedang menekan para pemimpin kampung di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, untuk mengalokasikan sebagian dana masyarakat untuk pasukan keamanan. Kasus ini menggambarkan pola korupsi, intimidasi, dan militerisasi administrasi publik di Tanah Papua, yang memperparah kerentanan masyarakat yang terkena dampak konflik dan merusak pemerintahan yang sah.
Perkembangan politik
Pada bulan Juli, Menteri Koordinator Yusril Ihza Mahendra mengumumkan bahwa Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan diberi mandat khusus untuk mempercepat pembangunan dan mengatasi masalah hak asasi manusia di Papua Barat. Hingga September 2025, spekulasi mengenai pemindahan kantor Gibran ke Papua Barat belum dapat dikonfirmasi.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan amnesti kepada enam tahanan politik asal Papua dan Maluku menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80 pada tanggal 17 Agustus menimbulkan reaksi beragam dari organisasi-organisasi hak asasi manusia, di mana para advokat menyambut baik pembebasan tersebut sambil mempertanyakan ruang lingkup dan waktu pengampunan yang terbatas. Para pengacara hak asasi manusia mengajukan pertanyaan serius tentang apakah ini merupakan amnesti yang sesungguhnya atau hanya penundaan pelaksanaan hak-hak pembebasan bersyarat yang sudah ada, karena sebagian besar narapidana sudah memenuhi syarat untuk pembebasan bersyarat di bawah peraturan yang ada, karena telah menjalani lebih dari dua pertiga masa hukuman mereka.
Indonesia mengalami kerusuhan politik yang paling signifikan sejak Presiden Prabowo Subianto menjabat pada Oktober 2024, dengan protes nasional yang mematikan meletus pada akhir Agustus 2025 yang menewaskan setidaknya delapan hingga sepuluh orang dan mengakibatkan lebih dari 3.000 orang ditangkap dalam tindakan keras di seluruh negeri. Protes yang menyebar di Jakarta dan 38 provinsi ini dipicu oleh kemarahan publik atas tunjangan parlemen, termasuk tunjangan perumahan bulanan untuk 580 anggota parlemen, tuntutan upah yang lebih tinggi, dan pajak yang lebih rendah. Protes meningkat setelah sebuah kendaraan polisi lapis baja menabrak seorang warga sipil di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 2025. Para demonstran menggunakan bendera hitam dari serial TV Jepang “One Piece” sebagai simbol protes mereka, yang mendorong Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, untuk menyarankan agar pemerintah melarang bendera tersebut dengan alasan keamanan nasional. Kekerasan termasuk serangan pembakaran terhadap gedung-gedung DPRD di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Di bawah tekanan publik, Presiden Prabowo mengurangi tunjangan anggota parlemen, memecat lima menteri kabinet, dan mengumumkan rencana untuk melakukan investigasi independen atas dugaan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional oleh aparat keamanan.
Pada 18 September 2025, Mahkamah Konstitusi menolak petisi hukum yang menggugat UU No. 3/2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan memutuskan bahwa proses legislasi tidak melanggar UUD 1945 meskipun ada kontroversi prosedural dan kritik luas dari organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa. Keputusan tersebut memungkinkan UU TNI yang telah diamandemen untuk tetap mengikat secara hukum, dengan empat dari sembilan hakim yang mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion). Organisasi masyarakat sipil memperingatkan adanya implikasi serius bagi demokrasi Indonesia dan pengawasan sipil terhadap militer.
Perkembangan internasional
Dewan Gereja Sedunia dan Fransiskan Internasional, bersama dengan beberapa organisasi mitra, mengadakan acara sampingan selama Sesi ke-60 Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tanggal 22 September 2025, yang membahas situasi hak asasi manusia di Tanah Papua satu tahun setelah pemerintahan Indonesia saat ini. Acara tersebut mengungkapkan peningkatan pesat dalam deforestasi dan meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia yang mempengaruhi masyarakat adat di seluruh negeri. Hanya dua hari setelah acara tersebut, Christian Solidarity International (CSI) menyampaikan pernyataan lisan di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada tanggal 24 September, yang menyerukan kepada Mekanisme Pakar PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat untuk menangani ancaman dan marjinalisasi yang terus meningkat terhadap masyarakat adat Papua. CSI secara khusus menunjukkan bahwa Proyek Strategis Nasional Pemerintah menimbulkan ancaman terhadap cara hidup Masyarakat Adat di Tanah Papua.
Forum Kepulauan Pasifik ke-54, yang diselenggarakan pada tanggal 8-12 September 2025 di Honiara, Kepulauan Solomon, diakhiri dengan para pemimpin yang merayakan pencapaian dalam hal ketahanan iklim dan keamanan regional. Serupa dengan komunike PIF sebelumnya, para pemimpin Pasifik mencurahkan satu paragraf untuk Papua Barat dalam komunike terakhir mereka. Pernyataan tersebut menegaskan kembali “pengakuan berkelanjutan Forum terhadap kedaulatan Indonesia atas Tanah Papua” sembari mengingatkan kembali “undangan Indonesia pada tahun 2018 untuk misi yang dipimpin oleh Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)” dan menugaskan “Sekretariat untuk bekerja sama secara konstruktif dengan Indonesia dalam kunjungan yang diusulkan oleh para Utusan Pemimpin Forum pada tahun 2026, melalui konsultasi dengan Sekretariat Melanesia Spearhead Group (MSG).” Keterlibatan forum yang ragu dengan situasi kemanusiaan di Tanah Papua digarisbawahi oleh larangan pengibaran bendera Bintang Kejora di Honiara karena tekanan Indonesia, yang juga menunjukkan sejauh mana pengaruh eksternal terhadap proses pengambilan keputusan di Pasifik. Sebelum KTT, LSM-LSM di kawasan Pasifik menerbitkan sebuah surat terbuka yang menyerukan kepada para pemimpin Pasifik untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di Tanah Papua.
Organisasi hak asasi manusia internasional CIVICUS menambahkan Indonesia ke dalam Daftar Pantauan CIVICUS Monitor di tengah meluasnya intimidasi negara, manipulasi hukum, dan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, yang mendorong ruang sipil ke titik yang genting. CIVICUS Monitor saat ini menilai Indonesia sebagai “terhambat”, yang mengindikasikan adanya tantangan serius terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, dan berserikat. Pengamatan CIVICUS sejalan dengan laporan yang diterbitkan oleh Amnesty International Indonesia (AII) pada bulan Juli 2025. AII mendokumentasikan serangan terhadap sedikitnya 104 pembela hak asasi manusia dalam 54 kasus selama enam bulan pertama di tahun ini.
Menyempitnya ruang sipil diiringi dengan meningkatnya militerisasi dan penguatan struktur pertahanan Indonesia, sementara isu-isu keadilan sosial yang mendesak seperti kesenjangan yang semakin besar antara si kaya dan si miskin masih belum tertangani secara luas. Pada tanggal 25 Agustus 2025, Indonesia memulai latihan militer bersama dengan Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Singapura, dan negara-negara lain. Latihan yang diberi nama “Talisman Sabre” ini diadakan di perairan Australia yang dimulai pada tanggal 14 Juli. Menteri Angkatan Laut A.S. menggambarkan latihan bersama itu sebagai upaya untuk menunjukkan kepada Tiongkok bahwa para peserta latihan siap untuk “beroperasi bersama dalam mempertahankan nilai-nilai inti.”


