laporan komrehensif ini disusun pada tahun 2024 dan diterbitkanpada Januari 2025 dan mengungkapkan bukti-bukti serangan sistematis yang meluas terhadap warga sipil pribumi selama operasi aparat keamanan di Provinsi Papua Tengah, Indonesia, pada bulan April 2023. Investigasi ini mendokumentasikan penghancuran infrastruktur sipil, pembunuhan, dan pengungsian massal yang dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Laporan setebal 39 halaman, “Bumi Hangus: Penggerebekan oleh Aparat Keamanan dan Pemindahan Paksa di Intan Jaya, Papua Barat,” merinci bagaimana aparat keamanan Indonesia melakukan penggerebekan di empat desa di Kabupaten Intan Jaya antara tanggal 9-11 April 2023. Melalui investigasi yang komprehensif termasuk analisis citra satelit, kesaksian saksi, dan penelitian di lapangan, laporan ini mendokumentasikan penghancuran 28 rumah, dugaan pembunuhan di luar proses hukum terhadap empat warga sipil, dan luka-luka pada tiga orang, termasuk dua anak di bawah umur.
Temuan Utama
Investigasi menemukan bahwa aparat keamanan:
- Melakukan penggerebekan terkoordinasi yang mencakup wilayah seluas 2,7 kilometer persegi di empat desa
- Dengan sengaja menghancurkan infrastruktur sipil, termasuk pembakaran 28 rumah
- Melakukan pembunuhan di luar hukum terhadap paling sedikit tiga warga sipil
- Memaksa pemindahan paksa lebih dari 3.000 penduduk asli Papua
Penyelidikan menghadapi tantangan yang signifikan karena akses yang terbatas ke wilayah tersebut, menyoroti isolasi dari pengawasan internasional dan liputan media yang sedang berlangsung di Tanah Papua.
Laporan ini berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut memenuhi berbagai unsur kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah kerangka hukum Statuta Roma, dengan mengutip bukti-bukti serangan yang meluas dan sistematis yang secara khusus menargetkan penduduk sipil di wilayah terdampak.
Ringkasan
Antara tanggal 9 dan 11 April 2023, pasukan keamanan Indonesia melakukan penggerebekan di empat desa di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah , yang mencakup area seluas 2,7 kilometer persegi. Dalam penggerebekan tersebut setidaknya 28 rumah dihancurkan . Aparat keamanan dilaporkan menewaskan empat warga sipil dan melukai tiga orang lainnya, termasuk dua anak di bawah umur. Lebih dari 3.000 penduduk asli Papua mengungsi sebagai akibat dari operasi tersebut, menghadapi kondisi kehidupan yang mengerikan tanpa akses terhadap makanan, layanan kesehatan, atau pendidikan yang memadai.
Laporan ini berargumen bahwa pola dan skala serangan tersebut dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana didefinisikan oleh Statuta Roma, dengan mengutip bukti-bukti serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil. Analisis citra satelit dan investigasi di lapangan digunakan untuk mendokumentasikan tingkat kehancuran di desa-desa yang terkena dampak. HRM memahami serangan tersebut sebagai bagian dari strategi kontra-pemberontakan terhadap Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), namun berpendapat bahwa penargetan tanpa pandang bulu terhadap wilayah-wilayah sipil tidak dapat dibenarkan.
Para pejabat militer membuat pernyataan publik tentang operasi tersebut, yang mengindikasikan adanya pengetahuan tentang serangan di tingkat komando yang lebih tinggi. Laporan ini menyerukan penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan mendesak pemerintah Indonesia untuk mengizinkan akses kemanusiaan ke daerah-daerah yang terkena dampak serta terlibat dalam dialog perdamaian dengan semua pemaangku kepentingan di Tanah Papua, termasuk sayap bersenjata.
Human Rights Monitor mengakui keberanian para pembela hak asasi manusia dan saksi lokal yang memungkinkan dilakukannya investigasi ini, meskipun menghadapi risiko pribadi yang signifikan.