Meningkatnya kekhawatiran terhadap situasi HAM di tengah perluasan kehadiran militer yang signifikan di seluruh dataran tinggi tengah Tanah Papua

Militerisasi sistematis di wilayah dataran tinggi di Tanah Papua sejak Agustus 2025 merupakan transformasi wilayah sipil menjadi zona operasi militer yang belum pernah terjadi sebelumnya. hal ini berimplikasi pada eskalasi konflik bersenjata, pengerukan sumber daya alam, dan pemindahan penduduk. Pendirian setidaknya 31 pos militer di Intan Jaya saja, dikombinasikan dengan pola serupa di Kabupaten Puncak, Puncak Jaya, Paniai, Lanny Jaya, Yahukimo, Nduga, dan Pegunungan Bintang, menunjukkan ekspansi militer terkoordinasi yang terkesan melebihi kebutuhan kontra-pemberontakan.

Dampaknya terhadap dinamika konflik bersenjata telah menciptakan kondisi kekerasan yang berlarut-larut dengan menempatkan seluruh penduduk sipil secara langsung di dalam zona tempur, terjebak di antara kekuatan bersenjata tanpa ada pilihan yang aman untuk perlindungan. Pendudukan sistematis di desa-desa dataran tinggi, penguasaan 21 desa di Distrik Homeyo, Intan Jaya, pendirian pos-pos di seluruh komunitas tepi danau di Paniai, peningkatan pasukan di wilayah perbatasan di Pegunungan Bintang, dan perubahan kabupaten Nduga dijadikan area militer tanpa adminsitrasi sipil yang funksional, memaksa masyarakat adat ke dalam posisi yang sulit. Bertahan di zona militer berisiko masyarakat menjadi korban penembakan atau dituduh mendukung kelompok bersenjata, sementara mengungsi ke hutan menyebabkan hilangnya mata pencaharian, terpapar pada kondisi yang keras, dan terpisah dari layanan dasar.

Konversi infrastruktur sipil, termasuk gereja di beberapa kantor distrik, sekolah dasar, dan gedung komunitas, menjadi pos militer merupakan pelanggaran sistematis terhadap prinsip-prinsip hukum humaniter internasional yang mengharuskan adanya pembedaan antara tujuan militer dan tujuan sipil. Penggunaan pesawat sipil untuk mengangkut pasukan dan pembatasan pergerakan warga sipil untzk berkebun semakin menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban perlindungan warga sipil di bawah Konvensi Jenewa. Indonesia meratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa 1949 melalui UU No. 59 tahun 1958, menjadikan ketentuan-ketentuan ini sebagai hukum domestik yang mengikat.

Militerisasi besar-besaran ini bertepatan dengan persiapan proyek-proyek ekstraktif besar, terutama operasi pertambangan emas Blok Wabu yang akan melibatkan lima perusahaan, termasuk perusahaan milik pemerintah PT Freeport Indonesia dan PT Antam, yang dijadwalkan mengeksploitasi sekitar 116 juta ton bijih mineral yang mengandung emas, perak, nikel, dan kobalt yang direncanakan akan mulai pada bulan Maret 2026. Pengerahan ribuan pasukan non-organik dengan menggunakan helikopter buatan Rusia, kendaraan lapis baja, dan persenjataan berat untuk menduduki desa, sekolah, gereja, dan kantor-kantor pemerintah daerah menunjukkan adanya militerisasi strategis yang terkesan dirancang untuk mengamankan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, bukan untuk melindungi penduduk sipil.

Tampaknya ada korelasi langsung antara pola pengerahan militer dan ekstraksi sumber daya alam. Kekhawatiran tentang kepentingan ekonomi di balik militerisasi Intan Jaya telah disoroti oleh sekelompok LSM Indonesia pada tahun 2021. Waktu dan geografis operasi militer sangat selaras dengan konsesi pertambangan dan proyek-proyek infrastruktur: Pengerahan pasukan besar-besaran di Intan Jaya mendahului operasi Blok Wabu yang telah disetujui oleh kementerian-kementerian pemerintah. Pola ini mengindikasikan bahwa penggusuran bukan semata-mata akibat dari konflik, melainkan sebuah strategi yang disengaja untuk menyingkirkan masyarakat adat dari tanah yang kaya akan sumber daya alam. Larangan memotret pos-pos militer di Pegunungan Bintang, pemadaman internet selama operasi di Paniai, dan kontrol militer atas telekomunikasi di Nduga, di mana Telkomsel hanya beroperasi 1-2 jam setiap hari, menunjukkan adanya juga kontrol informasi yang sistematis yang mencegah dokumentasi dan pemantauan eksternal.

Pada bulan Agustus 2025, TNI AL secara resmi meluncurkan kampanye operasi teritorial baru yang menargetkan provinsi Papua Barat Daya (Sorong), Papua (Jayapura), dan Papua Selatan (Merauke). Operasi ini diluncurkan pada tanggal 6 Agustus dan disajikan sebagai program strategis yang mendukung pembangunan nasional melalui pendekatan pembangunan teritorial di wilayah pesisir dan daerah tertinggal. Tujuan operasi termasuk membangun sistem pertahanan rakyat semesta sambil memperkuat persatuan antara militer dan sipil melalui kegiatan-kegiatan yang diklaim memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Operasi teritorial ini mencakup program fisik dan non-fisik. TNI Angkatan Laut membingkai operasi ini sebagai program kemanusiaan, sosial, dan pertahanan, yang menekankan kolaborasi lintas sektoral dan sinergi dengan pemerintah daerah untuk mengatasi masalah sosial, ekonomi, dan kesejahteraan. Ekspansi militer ke dalam bidang pembangunan sipil terjadi di tengah konflik bersenjata yang sedang berlangsung dan krisis kemanusiaan yang terjadi di seluruh wilayah dataran tinggi Tanah Papua.

Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua, Frits Ramandey, mengkritik pengerahan pasukan non-organik ke Tanah Papua sebagai hal yang dapat dipertanyakan secara hukum dan bermasalah secara operasional. Ia menyatakan bahwa Tanah Papua tidak ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), tetapi terus menerima pasukan militer dari luar tanpa persetujuan legislatif atau evaluasi yang memadai. Ramandey menjelaskan bahwa UU No. 3/2025 mengharuskan pengerahan pasukan berdasarkan permintaan dan persetujuan resmi dari DPRD di tingkat kabupaten dan DPR untuk pengerahan pasukan di tingkat nasional, namun dasar hukum, otoritas permintaan, dan proses persetujuan untuk pengerahan pasukan di Tanah Papua tidak jelas. Pengerahan pasukan non-organik telah mengganggu keamanan masyarakat karena trauma sejarah, menciptakan kekacauan koordinasi antara unit militer dan otoritas sipil, dan menyebabkan ketegangan dengan pemerintah daerah. Fasilitas sipil telah diduduki oleh pasukan dari luar tanpa koordinasi dengan masyarakat setempat.

Intan Jaya

Pada bulan September 2025, kabupaten Intan Jaya mengalami krisis militerisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan setidaknya 31 pos militer didirikan di seluruh kabupaten sebagai bagian dari apa yang digambarkan oleh masyarakat setempat sebagai pendudukan sistematis untuk mengamankan Blok Wabu untuk dieksploitasi, telah dijadwalkan pada Maret 2026. Pada tanggal 28 September, helikopter buatan Rusia melakukan pengerahan pasukan di Desa Kendetapa, Distrik Homeyo, dengan pasukan yang menguasai 21 desa di distrik tersebut tanpa informasi awal kepada pemilik tanah atau pemimpin lokal. Kehadiran militer meluas dengan cepat sejak tanggal 11 September dan seterusnya, dengan 400 anggota TNI non-organik dari Kodim Infanteri 17/052 menduduki desa Jalai, termasuk sekolah dasar YPPK Fransiskus dan perumahan guru. Setelah kejadian tersebut, penduduk mengungsi ke Sugapa, sementara 500 pasukan tambahan dikerahkan ke Distrik Homeyo dengan rencana untuk menyebar unit-unit berkekuatan 50 orang di masing-masing desa. Pada tanggal 25 September, pasukan TNI-Polri telah menguasai Bulapa di Distrik Sugapa, dan pada tanggal 27 September, pasukan gabungan melancarkan Operasi Obema yang menargetkan markas TPNPB di Ugimba dan menduduki Desa Gamagae. Latihan militer dilaporkan dilakukan setiap pagi di pos-pos seperti Mamba, menyebabkan trauma yang meluas di kalangan penduduk asli yang harus menyaksikan seluruh wilayah mereka berubah menjadi zona operasi militer.

Perlawanan lokal semakin meningkat ketika berbagai organisasi mengutuk militerisasi tersebut. Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Moni (IPMMO) menolak semua rencana pembangunan pos militer dan pertambangan. Bupati Intan Jaya Aner Maiseni secara terbuka menyatakan kekecewaannya terhadap pasukan non-organik yang masuk tanpa pemberitahuan dari pemerintah. Pendudukan militer telah menyebabkan pengungsian besar-besaran, dengan seluruh desa diabaikankan dan penduduknya melarikan diri ke hutan. Tentara dilaporkan menduduki fasilitas sipil, seperti sekolah, gereja, kantor distrik, dan rumah-rumah pribadi. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum humaniter internasional yang mewajibkan perlindungan terhadap infrastruktur sipil.

Aktivis dan intelektual telah mengemukakan kekhawatiran bahwa militerisasi di Intan Jaya terkait dengan proyek pertambangan emas Wabu Block, yang disetujui dalam pertemuan pada November 2024. Waktu itu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Komisi II DPR, dan Komisi XII DPR menunjuk lima perusahaan (PT Antam, PT Freeport Indonesia, PT Madinah Qurrata Ain, PT Nasapati Satria, dan PT Kotabara Miratama) untuk memulai operasi pada Maret 2026 di kawasan yang diperkirakan mengandung 116 juta ton bijih mineral, termasuk emas, perak, nikel, dan kobalt. Aktivis hak asasi manusia menuduh penempatan militer dirancang untuk mengusir masyarakat adat dari tanah leluhur mereka guna memfasilitasi eksploitasi pertambangan. Adapun informasi bahwa kerja sama antara Pemerintah Provinsi Papua Tengah, yang dipimpin oleh Gubernur Meki Nawipa, dan Bupati Intan Jaya Aner Maiseni menyetujui operasi militer tersebut. Diinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Papua Tengah secara terbuka menyoroti Blok Wabu sebagai aset strategis dengan potensi geologis setara dengan industri pertambangan skala besar Papua Nugini, sambil menekankan peran perusahaan negara dan regional dalam pengelolaan. Hal ini berindikasi bahwa tujuan operasi militer mengutamakan kepentingan ekonomi meskipun berdampak buruk bagi masyarakat setempat.

Selama audiensi bersama dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia pada 3 Oktober 2025, perwakilan mahasiswa dan intelektual dari Intan Jaya dan Provinsi Papua Tengah memaparkan tiga isu utama terkait proyek pertambangan Blok Wabu: verifikasi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), konfirmasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), dan penyerahan resmi aspirasi masyarakat akar rumput yang menolak eksploitasi Blok Wabu. Menteri menanggapi bahwa hingga saat ini belum ada izin IUPK yang diterbitkan untuk wilayah Blok Wabu di Intan Jaya. Menteri ESDM menambahkan bahwa ia tidak mengetahui status WIUPK karena baru menjabat sebagai menteri pada tahun 2024 dan perlu memeriksa dokumen dari menetri sebelumnya. Pada kesempatan ini, menteri juga diberikan petisi komunitas yang berisi lebih dari seribu tanda tangan yang menolak proyek tersebut. Ketika delegasi menanyakan hubungan antara penempatan pasukan militer non-organik di Intan Jaya dan rencana eksploitasi Blok Wabu, Menteri menyatakan bahwa penempatan pasukan militer tidak terkait dengan eksploitasi Blok Wabu dan menyarankan mereka untuk menghubungi Menteri Pertahanan untuk informasi mengenai urusan pasukan keamanan.

Anggota militer tiba di Desa Jalai pada 11 September 2025

Latihan militer di sebuah desa di Intan Jaya, 28 September 2025

Kedatangan pasukan TNI di Intan Jaya pada akhir September 2025

Paniai

Kabupaten Paniai di Provinsi Papua Tengah mengalami peningkatan militerisasi pada September 2025 ketika pengerahan pasukan TNI non-organik dalam skala besar memicu kecemasan masyarakat dan protes dari mahasiswa dan tokoh masyarakat setempat. Pada tanggal 20 September, pasukan non-organik mulai berdatangan melalui Nabire, dengan ratusan personel menggunakan speedboat untuk berpatroli di Danau Paniai pada malam hari dan membangun pos sementara di berbagai distrik, termasuk Ekadide, Pasir Putih, Bibida, dan Paniai Barat. Pada tanggal 25 September, delapan truk yang membawa pasukan TNI, tujuh truk logistik, dan empat kendaraan Hilux tiba di Enarotali, berkumpul di Lapangan Karel Gobai dengan rencana yang dicurigai akan menargetkan daerah yang diyakini sebagai markas Tentara Nasional Indonesia (TNI). Operasi militer tersebut termasuk patroli malam hari di Danau Paniai dengan perahu bermotor, suara tembakan yang didengar oleh penduduk, pendudukan desa-desa, dan pemadaman internet sementara pada tanggal 24 September yang membatasi komunikasi selama operasi. Kelompok-kelompok bersenjata mengeluarkan pernyataan yang menegaskan kesiapan untuk menghadapi pasukan TNI dan menuntut kepatuhan terhadap hukum humaniter internasional dan perlindungan terhadap warga sipil.

Kehadiran militer berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat dan kegiatan ekonomi, terutamai para nelayan yang hidupnya tergantung pada Danau Paniai. Mereka takut disangka sebagai anggota kelompok bersenjata oleh pasukan non-organik yang tidak terbiasa dengan budaya setempat dan masyarakat asli Paniai. Para pemimpin lokal telah menekankan bahwa wilayah Paniai damai sebelum operasi militer dimulai. Hanya ada gangguan sementara, namun pasukan non-organik yang melakukan operasi malam hari telah menciptakan ketakutan di antara warga sipil. Pada tanggal 21 September, penduduk yang berencana untuk menghadiri kebaktian di gereja dilaporkan melarikan diri ke hutan ketika tujuh peleton TNI menduduki desa-desa di Agadide. Kurangnya penjelasan resmi mengenai tujuan operasi, ditambah dengan pergerakan malam hari dan pendudukan wilayah sipil, menyebabkan warga mengalami kembali trauma dari operasi militer di masa lalu yang meninggalkan luka sosial dan trauma yang mendalam.

Menanggapi keresahan masyarakat, ratusan mahasiswa dari Solidaritas Mahasiswa Paniai untuk Kemanusiaan dan Alam melakukan demonstrasi damai di Jayapura pada tanggal 29 September, menyampaikan 15 tuntutan termasuk penarikan pasukan militer organik dan non-organik, penghentian semua kegiatan militer yang meresahkan masyarakat, penolakan pembangunan Kodim, Koramil, dan pos polisi baru, penghentian izin pertambangan emas, batu bara, minyak dan gas di Paniai, penghentian pembangunan jalan trans Paniai-Intan Jaya, penghentian semua operasi militer di Tanah Papua, dan penghentian proyek-proyek strategis nasional.. Menyusul tekanan dari masyarakat, anggota DPRD Paniai mengadakan pertemuan dengan aparat keamanan pada tanggal 9 September, dan mencapai kesepakatan untuk membatasi kegiatan TNI non-organik selama enam bulan. Menurut kespekatan, TNI dilarang masuknya ke fasilitas umum seperti gereja, sekolah, puskesmas, dan kantor distrik, terutama di Distrik Ekadide dan seluruh kabupaten, meskipun pelaksanaan dan penegakan pembatasan ini masih belum pasti karena operasi militer masih terus berlanjut.

Operasi aparat keamanan di Danau Paniai pada tanggal 22 dan 23 September 2025

Pegunungan Bintang

Sejak Agustus 2025, tiga pos militer baru telah didirikan di wilayah perbatasan dengan Provinsi Pegunungan Bintang, Papua Nugini, yang secara signifikan memperluas kehadiran militer Indonesia di wilayah tersebut. Di Distrik Batom, pasukan militer dilaporkan telah menduduki kantor distrik dan fasilitas desa, sementara di Kampung Okyob, Distrik Kiwirok Timur, pasukan telah mengambil alih kantor distrik, kantor desa, dan tempat tinggal warga sipil. Penduduk melaporkan bahwa mereka dilarang mengambil foto pos militer, yang mencerminkan pembatasan dokumentasi dan arus informasi dari zona perbatasan yang baru dimiliterisasi ini. Hingga akhir Agustus 2025, anggota militer terus menduduki Gereja GIDI Efesus Sape di Distrik Oksop. Masyarakat adat yang tidak dapat bertahan dari kehadiran militer di distrik Oksop dan Kiwirok terus tinggal di hutan, sementara militer menekan sebagina masyarakat untuk kembali ke desa mereka, di mana mereka hidup di bawah pengawasan dan pembatasan kebebasan bergerak.

Lanny Jaya

Pada akhir Agustus 2025, Kabupaten Lanny Jaya mengalami pengerahan pasukan militer non-organik yang berafiliasi dengan Komando Operasi Habema secara signifikan ke kampung-kampung adat terpencil di distrik Kwiyawagi dan Goabalim. Antara tanggal 21 dan 23 Agustus, pasukan tambahan memasuki wilayah tersebut, dengan laporan-laporan yang mengkonfirmasi keberadaan pasukan di Desa Gwilo (Distrik Goabalim Wanugwa) dan Desa Tumbubut (Distrik Kwiyawagi) pada tanggal 26 Agustus. Warga melaporkan bahwa pasukan TNI secara paksa menduduki fasilitas masyarakat, termasuk pusat komunitas di Kampung Tumbubut, tanpa penjelasan mengenai tujuan mereka atau otorisasi hukum dari pemilik tanah. Pengerahan terakhir ke Kabupaten Lanny Jaya dilaporkan terjadi pada tanggal 11 September, dimana personil militer disebar ke beberapa distrik.

Kehadiran militer telah sangat mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, dengan pasukan yang melakukan operasi di desa-desa dan membangun pos di pegunungan, hutan, dan padang rumput, yang secara efektif membatasi kebebasan warga untuk bergerak dan mengakses kegiatan tradisional seperti berburu dan bertani. Pada tanggal 23 Agustus, belasan tentara non-organik TNI tiba di kota Lanny Jaya sebelum melanjutkan perjalanan ke distrik Melagineri dan Kwiyawagi, memperluas jejak militer di daerah tersebut. Para pemimpin masyarakat setempat telah mengeluarkan seruan mendesak untuk mendapatkan perhatian publik dan pemantauan dari organisasi-organisasi kemanusiaan, yang menekankan sifat paksa dari pendudukan militer dan dampaknya terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah leluhur dan mata pencaharian tradisional.

Kedatangan personel TNI di Lanny Jaya pada akhir Agustus 2025

Puncak Jaya

Kabupaten Puncak Jaya mengalami operasi militer yang parah pada awal Agustus 2025, yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil dan pengungsian ketika pasukan keamanan Indonesia melakukan operasi menjelang perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 Indonesia. Insiden paling serius terjadi pada 7 Agustus di Kampung Oholumu, Distrik Mewoluk, ketika seorang anak perempuan berusia 13 tahun ditembak di paha kanannya oleh tentara TNI ketika ia keluar rumah pada malam hari untuk buang air. Anak tersebut tidak sadarkan diri di luar rumah selama satu hari penuh sebelum ditemukan oleh warga dan akhirnya dipindahkan ke Jayapura pada tanggal tgl 14 Agustus, dengan peluru masih bersarang di tubuhnya selama delapan hari. Operasi militer melibatkan serangan helikopter yang dimulai pada pukul 3:00 pagi, dengan pasukan yang menembak dari udara sebelum mendarat untuk membakar dan menghancurkan rumah-rumah dan fasilitas gereja GIDI, memaksa penduduk untuk meninggalkan desa mereka. Adapun informasi bahwa ada tiga korban masyarakat sipil lain yang mengalami luka tembak pada operasi tersebut.

Kekerasan berlanjut pada tanggal 11 Agustus ketika pasukan keamanan gabungan melakukan operasi di Distrik Lumo, diduga membakar rumah-rumah warga sipil dan mengubah Gereja GIDI Lumo menjadi barak militer. Beberapa warga sipil ditangkap, yang lainnya melarikan diri ke hutan, dan beberapa anak dilaporkan hilang, tanpa adanya evakuasi. Pola operasi militer yang merusak fasilitas keagamaan dan pemukiman penduduk serta menyebabkan pengungsian massal mencerminkan pelanggaran sistematis terhadap protokol perlindungan warga sipil di daerah konflik.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH Papua mengajukan pengaduan resmi ke Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, mendokumentasikan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan warga sipil dan UU Perlindungan Anak. Mahasiswa Puncak Jaya di Jayapura mengorganisir demonstrasi damai pada tanggal 22 Agustus untuk menuntut penarikan pasukan non-organik dari kabupaten tersebut, sementara organisasi-organisasi kemanusiaan menyerukan investigasi segera dan advokasi bagi masyarakat yang terkena dampak.

Masyarakat adat Papua melarikan diri dari rumah di Puncak Jaya setelah anggota militer dikerahkan ke desa-desa mereka pada Agustus 2025

Nduga

Kabupaten Nduga di Provinsi Papua Pegunungan telah berubah menjadi zona militer di mana pemerintahan sipil benar-benar runtuh sejak akhir 2018. Militer telah membangun setidaknya 18 pos dan instalasi strategis di seluruh kabupaten, termasuk di Kampung Ginik, Alguru, Yosema, Dinas Perikanan, Krepkuri, Pelabuhan Dua, Hotel Roket, Koteka, Bandara Kenyam, dan dua posisi di Dolarisa, selain markas militer dan polisi. Pada Agustus 2025, Nduga mengalami pengerahan lebih banyak kendaraan lapis baja. Agen intelijen negara (BIN) beroperasi dengan menyamar sebagai warga sipil di toko-toko, proyek-proyek pembangunan jalan, sementara penduduk asli hidup dalam kecurigaan dan ketakutan. Para pendatang baru secara sistematis ditanyai tentang asal-usul dan tujuan mereka, yang secara efektif menghilangkan segala kemiripan dengan kehidupan sipil yang normal atau fungsi administratif di tempat yang tidak lagi dapat dianggap sebagai kabupaten dengan admistrasi sipil yang fungsional.

Menurut laporan dari Pembela Hak Asasi Manusia, semua kantor pemerintah dan pelayanan publik telah berhenti berfungsi, dengan halaman kantor yang ditumbuhi rumput liar, tidak ada pegawai negeri yang berseragam resmi, dan semua pejabat telah meninggalkan jabatan dan kediaman resminya di luar kabupaten. Militer dilaporkan telah mengambil alih kendali penuh atas ekonomi lokal, mengoperasikan penjualan bahan bakar, toko-toko, konter pulsa, dan bisnis kayu, sementara Bandara Kenyam, meskipun secara nominal adalah milik sipil, sepenuhnya dikendalikan oleh pasukan keamanan. Infrastruktur dan layanan dasar telah memburuk secara dramatis, dengan jaringan Telkomsel yang dikendalikan oleh militer dan hanya aktif 1-2 jam setiap hari, sementara pasukan keamanan mengoperasikan satu-satunya akses WiFi berbayar untuk mengontrol arus informasi. Listrik hanya beroperasi dari pukul 18.00 hingga 06.00, sehingga tidak memungkinkan operasional kantor di siang hari.

Situasi kemanusiaan mencerminkan kehancuran sosial secara total, dengan mayoritas penduduk mengungsi dari desa-desa ke Wamena, Timika, Nabire, Yahukimo, dan kota Kenyam, di mana daerah Pasar Baru telah menjadi pemukiman sementara bagi para pengungsi sejak tahun 2024. Akses pendidikan sangat terbatas, dengan hanya beberapa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas yang beroperasi di Kota Kenyam, sementara sebagian besar siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan karena pengungsian, kendala keuangan, dan kekurangan guru. Banyak gereja telah ditutup dan rusak, dengan hanya jemaat kecil yang melakukan kegiatan ibadah secara terbatas.

Kehadiran militer yang besar di kota terbesar di Nduga, Kenyam, pada Agustus 2025